MAKALAH
SWAMEDIKASI KECACINGAN
Oleh:
Kelas :
Apoteker B
Kelompok : 4
Anggota : HIKMAR RAVENSYAH (N014172756)
MOH. KRISHNA MURTI K. (N014172757)
ALWI JAYA (N014172758)
AYU SETIAWATI IRWAN (N014172759)
SEMESTER AKHIR 2017/2018
PROGRAM
S TUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Penyakit kecacingan erat hubungannya dengan
kebiasaan hidup sehari-hari. Penyakit kecacingan biasanya tidak menyebabkan
penyakit yang berat dan angka kematian tidak terlalu tinggi namun dalam keadaan
kronis pada anak dapat menyebabkan kekurangan gizi yang berakibat menurunnya
daya tahan tubuh dan pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada tumbuh
kembang anak. Khusus pada anak usia sekolah, keadaan ini akan mengakibatkan
kemampuan mereka dalam mengikuti pelajaran akan menjadi berkurang (Safar,
2010).
World Health Organization (WHO)tahun 2012
memperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia
terinfeksi dengan cacing yang ditularkan melalui tanah. Lebih dari 270 juta
anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di
daerah di mana parasit ini ditularkan secara intensif dan membutuhkan
pengobatan serta tindakan pencegahan.
Di Indonesia penyakit infeksi yang disebabkan oleh
cacing masih tinggi prevalensinya yaitu 60% - 80%. Hal ini terjadi dikarenakan
Indonesia berada dalam posisi geografis yang temperatur dan kelembaban yang
sesuai untuk tempat hidup dan berkembang biaknya cacing. Pengaruh lingkungan
global dan semakin meningkatnya komunitas manusia serta kesadaran untuk
menciptakan perilaku higiene dan sanitasi yang semakin menurun merupakan faktor
yang mempunyai andil yang besar terhadap penularan parasit ini. Penyakit
infeksi kecacingan juga merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak
setelah malnutrisi (Kep-Menkes, 2006).
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen mata kuliah pengobatan sendiri (swamedikasi), serta mengetahui
patofisiologi, jenis, gejala/manifestasi klinik serta penatalaksanaannya baik
secara farmakologi maupun non farmakologi dan juga cara penanganan secara
swamedikasi dari penyakit cacingan atau kecacingan. Makalah ini juga bertujuan menambah pengetahuan kita
terhadap penyakit cacingan.
C.
Rumusan Masalah
- Bagaimana
patofisiologi penyakit kecacingan ?
- Bagaimana
pelaksanaan terapi (farmakologi dan non farmakologi) penyakit kecacingan?
- Bagaimana
penanganan penyakit kecacingan secara swamedikasi baik menggunakan obat sintetis
maupun obat herbal?
D. Tujuan
- Mengetahui
patofisiologi penyakit kecacingan
- Mengetahui
penatalaksanaan terapi (farmakologi dan non farmakologi) penyakit
kecacingan
- Mengetahui
penanganan penyakit kecacingan secara swamedikasi baik menggunakan obat
sintetis maupun obat herbal
BAB II
TEORI UMUM
A. Penyakit
Cacingan
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan
hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa
jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah
spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths)
diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
Infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing
tambang sangat erat dengan kebiasaan defekasi (buang air besar/BAB)
sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum makan serta anak-anak yang bermain di
tanah tanpa menggunakan alas kaki dan kebiasaan memakan tanah (geophagia).
Kebiasaan BAB sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah
yang lembab dan kemudian berkembang menjadi telur infektif. Telur cacing infektif
yang ada di tanah dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia bila tidak
mencuci tangan sebelum makan dan infeksi Cacingan juga dapat terjadi melalui
larva cacing yang menembus kulit (Kementrian Kesehatan : 2017)
B. Jenis
–jenis cacing
1. Ascaris
lumbricoides
a. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini.
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium
dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai
100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang
tidak dibuahi. Di tanah, dalam
lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam
waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan
menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus
menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu
mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk
ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari
trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian
tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi
cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak
tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10)
.
Gambar
1. Daur Hidup Ascaris lumbricoides
b. Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain
mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat
bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing
tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga penderita
mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja
serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena adanya
penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
c. Gejala
Klinik dan Diagnosis
Lesu,
tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,,
prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering
terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
d. Epidemiologi
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering
ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan.
Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah
akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang
lebih berat. Kebiasaan buang air besar
di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam
penyebaran infeksi penyakit ini. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah
tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari
infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah
(Gandahusada, 2000).
e. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau
masal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat
misalnya preparat piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole.
Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang
minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis
cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
2. Ancylostoma (cacing tambang)
a. Morfologi dan Daur Hidup
Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang yang
dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina
menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang
sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti
huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai
berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam
tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3
hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat
bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk
bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva
rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform
panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran
darah ke jantung terus ke paru-paru. Di
paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan
menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit
atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).
Gambar 2. Daur hidup Ancylostoma
(cacing tambang) Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006)
b. Patofisiologi
Cacing tambang
hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga
menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan
kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga penderita mengalami kekurangan
darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan
produktifitas. Kekurangan darah akibat
cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih
terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
c. Gejala
Klinik dan Diagnosis
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang,
pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan
manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat
eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
d. Epidemiologi
Insiden
ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat
tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya
sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah
gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi
penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah
yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai
sandal atau sepatu bila keluar rumah.
3. Trichuris
trichiura
a. Morfologi
dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar
5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya
masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor
cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir.
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuningkuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6
minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang
berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh
manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke
dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan
masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai
menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada,
2000).
Gambar 3. Daur hidup Trichuris trichiura (Menteri
Kesehatan, 2006)
b. Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di
sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum,
kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga
mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan,
2006)
c. Gejala
Klinik dan Diagnosis
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya
tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala.
Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala
seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi
prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan
telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000).
d. Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah
kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan
teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi.
Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %.
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita
trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan
kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci
dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera
yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000).
Dahulu
infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti
tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan
yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah
Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).
C. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penularan infeksi STH
Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa
faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang
penyebarannya melalui tanah antara lain :
1. Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan
yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Hotes, 2003).
Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah
prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan
menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi tertinggi
ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar
masih hidup dalam kekurangan.
2. Tanah
Penyebaran
penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab
dan tanah dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18).
Tanah liat
dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25ºC-30ºC sangat baik
untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif
(Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus
yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC dan tanah gembur seperti pasir atau
humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC tetapi
umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).
3. Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura
yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan
untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak
di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan
suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan
(Onggowaluyo, 2002).
4.
Perilaku
Perilaku
mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah
(Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan
karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan
nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991).
5.
Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan
menurut Tshikuka (1995) dikutip Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk
berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah.
6. Status
Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake),
pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara
keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi
berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah.
Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan produktifitas
kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehinggamudah
terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).
7. Penanganan
Penderita
Penanganan Penderita dilakukan melalui pengobatan
Penderita, dan konseling pada Penderita dan keluarga.
a. Pengobatan
Penderita
Pengobatan Penderita dilakukan pada setiap Penderita
yang ditemukan oleh tenaga kesehatan atau pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengobatan diberikan terhadap penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif
Cacingan. Pengobatan ini dilakukan di sarana kesehatan bagi Penderita yang
datang berobat sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau
hasil pemeriksaan klinis dinyatakan positif menderita Cacingan. Untuk kasus
dengan tinja positif usia < 2 tahun dan ibu hamil, dapat diberikan obat
cacing dengan dosis yang disesuaikan.
Untuk anak usia Balita diberikan sediaan berupa sirup (Permenkes,2017).
D. Macam-macam
obat cacing adalah:
1. Albendazol
Albendazol merupakan obat cacing
berspektrum luas. Obat bekerja dengan menghambat pembentukan energi cacing
sehingga mati. Albendazol juga memiliki efek larvisida terhadap cacing gelang
(A. lumbricoides) dan cacing tambang serta memiliki efek ovisida terhadap
cacing gelang (A.lumbricoides), cacing tambang (A.duodenale) dan cacing cambuk
(T.trichiura). Setelah pemberian oral, albendazol akan segera mengalami metabolisme
lintas pertama dihati menjadi metabolit aktif albendazol-sulfoksida. Absorbsi
obat akan meningkat bila diberikan bersama makanan berlemak. Waktu paruh
albendazol adalah 8 – 12 jam dengan kadar puncak plasma dicapai dalam 3 jam. Pada pasien dewasa dan anak usia 2 tahun
diberikan dosis tunggal 400 mg per oral. Untuk askariasis berat dapat diberikan
selama 2 – 3 hari (Permenkes,2017).
WHO merekomendasikan dosis 200 mg
untuk anak usia antara 12 – 24 bulan.
Penggunaan yang tidak lebih dari 3 hari, hampir bebas dari efek samping.
Efek samping biasanya ringan dan berlangsung sekilas yaitu rasa tidak nyaman di
lambung, mual, muntah, diare, nyeri kepala, pusing, sulit tidur dan lesu.
Albendazol tidak boleh diberikan pada Penderita yang memiliki riwayat hipersensitivitas
terhadap obat golongan benzimidazol dan penderita sirosis. Pada askariasis
berat, dapat terjadi erratic migration yaitu hiperaktivitas A. lumbricoides
yang bermigrasi ke tempat lain dan menimbulkan komplikasi serius seperti
sumbatan saluran empedu, apendisitis, obstruksi usus dan perforasi intestinal
yang disertai peritonitis. Pada pasien dengan demam serta wanita hamil
trimester satu. Pengobatan dapat ditunda bila terdapat salah satu kontra
indikasi di atas (Permenkes,2017).
2.
Mebendazol
Mebendazol memiliki mekanisme kerja yang sama
dengan albendazol. Setelah pemberian
oral, kurang dari 10% obat akan diabsorpsi kemudian diubah menjadi metabolit
yang tidak aktif dengan waktu paruh 2 – 6 jam. Ekskresi terutama melalui urin
dan sebagian kecil melalui empedu. Absorpsi akan meningkat bila diberikan
bersama makanan berlemak. Dosis untuk
dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 2 X 100 mg/hari, selama 3 hari
berturut-turut untuk askariasis, cacing tambang dan trikuriasis. Sebelum
ditelan sebaiknya tablet dikunyah lebih dulu. Pemberian jangka pendek hampir
bebas dari efek samping yaitu mual, muntah, diare dan nyeri perut yang bersifat
ringan. Pada dosis tinggi sehingga ada efek sistemik dapat terjadi
agranulositosis, alopesia, peningkatan enzim hati dan hipersensitivitas.
Kontraindikasi untuk ibu hamil karena ditemukan efek teratogenik pada hewan
coba. Pada anak usia dibawah 2 tahun, perlu berhati hati karena data penggunaan
masih terbatas dan ada laporan terjadi kejang. Seperti pada albendazol erratic
migration dapat terjadi pada askariasis berat (Permenkes,2017).
3. Pirantel
pamoat
Pirantel pamoat efektif untuk
askariasis dan cacing tambang. Obat tersebut bekerja sebagai neuromuscular
blocking agent yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dan penghambatan
kokinesterase sehingga menghasilkan paralisis spastik. Dosis yang dianjurkan 10
mg-11 mg/kg BB per oral, maksimum 1 gram, tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek
sampingnya jarang, ringan dan berlangsung sekilas antara lain mual, muntah,
diare, kram perut, pusing, mengantuk, nyeri kepala, susah tidur, demam,
lelah. Hati-hati pada penderita gangguan
fungsi hati, karena dapat meningkatkan serum amino transferase pada sejumlah
kecil Penderita yang memperoleh pirantel. Data penggunaan obat pada ibu hamil
dan anak usia dibawah 1 tahun masih terbatas, oleh karena itu penggunaan untuk
kelompok tersebut tidak dianjurkan (Permenkes,2017).
4. Pemberian
Obat Pencegahan Massal
Obat yang digunakan dalam Pemberian
Obat Pencegahan Massal Cacingan adalah Albendazol atau Mebendazol, dalam bentuk
sediaan tablet kunyah dan sirup. Untuk
anak usia Balita diberikan dalam bentuk sediaan sirup, sedangkan untuk anak
usia pra sekolah dan usia sekolah diberikan dalam bentuk sediaan tablet kunyah.
Dosis Albendazol yang digunakan adalah sbb : untuk penduduk usia >2 tahun –
dewasa : 400 mg dosis tunggal, sedangkan anak usia 1 – 2 th : 200 mg dosis
tunggal. Obat Mebendazol dapat pula digunakan dalam Pemberian Obat Pencegahan
Massal, dosis yang dipergunakan adalah 500 mg dosis tunggal (Permenkes,2017).
5. Pengobatan
selektif
Pengobatan selektif diberikan kepada
kabupaten/kota yang memiliki prevalensi rendah (Permenkes,2017).
b. Konseling
pada Penderita dan Keluarga
Kepada
Penderita dan keluarganya diberikan edukasi tentang upaya-upaya pencegahan
penularan Cacingan seperti cuci tangan pakai sabun,menggunakan air bersih untuk
keperluan rumah tangga, menjaga kebersihan dan keamanan makanan, menggunakan
jamban sehat, dan mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat (Permenkes,2017).
BAB III
PENGOBATAN
KECACINGAN
A. Obat-Obat sintesis Untuk Pengobatan Nematoda
Nematoda adalah Cacing ini berukuran
kecil (mm) sampai satu meter atau lebih, telur mikroskopis. Contoh anggota
nematoda yang parasit pada manusia yakni cacing kremi, cacing pita dan cacing
gelang.
1.
Piperazin
Piperazin pertama kali digunakan sebagai
antelmintik oleh Fayard (1949). Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin
efektif sekali terhadap A. lumbricoides dan E. Vermicularis.
Piperazin juga terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Piperazin
dalam bentuk
garam
sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan tartrat. Garam-garam ini bersifat
stabil non higroskopis, pemeriannya berupa kristal putih yang sangat larut
dalam air, larutannnya bersifat sedikit asam. Piperazin diabsorpsi melalui
saluran cerna, dan diekskresi melalui urine.
a.
Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Piperazin
menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin sehinggga terjadi
paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya
keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk
mengeluarkan cacing itu. Cacing yang telah terkena obat dapat menjadi normal
kembali bila ditaruh dalam larutan garam faal pada suhu 37°C. Diduga cara kerja
piperazin pada otot cacing dengan mengganggu permeabilitas membrane sel
terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat,
sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai
paralisis. Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang diberi
piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya ditemukan suatu derivat
nitrosamine yakni N-monistrosopiperazine dan arti klinis dari penemuan ini
belum diketahui.
b.
Farmakokinetik
Penyerapan
piperazin melalui saluran cerna, sangat baik. Sebagian obat yang diserap
mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin. Menurut Rogers (1958),
tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat dalam
kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan
ekskresi antar individu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan dalam
bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama 24 jam.
c.
Efek nonterapi dan kontraindikasi
Piperazin
memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya tidak menyebabkan
efek samping, kecuali terkadang nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian
secara intravena menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal
menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau pada
akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot,
atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah
pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita
epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita epilepsi
dan gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan
anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkannitrosamin,
penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benarbenar perlu atau kalau tak
tersedia obat alternatif. Piperazin bersifat teratogenic.
d.
Sediaan dan posologi
Piperazin
sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan
piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis
adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali
sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis)
dosis dewasa dan anak adalah 65 mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7
hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu. Berikut sediaan piperazin :
Gambar
1. Bentuk Sediaan Piperazin
2.
Pirantel Pamoat
Obat ini efektif untuk cacing gelang, cacing
kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot
cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase.
Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja,
<15% lewat urine. Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris
dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme
kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing
dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus.
Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari
tubuh, cacing akan segera mati Resorpsinya dari usus ringan kira – kira 50% diekskresikan
dalam keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan
melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan yaitu berupa mual, muntah, gangguan
saluran cerna dan kadang sakit kepala. Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu
hanya satu kali diminum.Dosis biasanya dihitung per berat badan (BB), yaitu 10
mg / kgBB. Walaupun demikian, dosis tidak boleh melebihi 1 gr. Sediaan biasanya
berupa sirup (250 mg/ml) atau tablet (125 mg /tablet). Bagi orang yang
mempunyai berat badan 50 kg misalnya, membutuhkan 500 mg pirantel. Jadi jangan
heran jika orang tersebut diresepkan 4 tablet pirantel (125 mg) sekali minum.Nama
dagang pirantel pamoat yang beredar di Indonesia bermacam-macam, ada
Combantrin, Pantrin, Omegpantrin, dan lain-lain (MIMS,1998) . Untuk dosis
terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg,
anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). Berikut sediaan Pirantel Pamoat :
Gambar
2. Bentuk Sediaan Pirantel Pamoat.
3.
Mebendazol
Mebendazol merupakan obat cacing yang
paling luas spektrumnya. Obat ini tidak larut dalam air, tidak bersifat
higroskopis sehingga stabil dalam keadaan terbuka Mebendazol adalah obat cacing
yang efektif terhadap cacing Toxocara canis, Toxocara cati, Toxascaris
leonina. Trichuris vulpis, Uncinaria stenocephala, Ancylostoma caninum,
Taenia pisiformis, Taenia hydatigena, Echinococcus granulosus dan aeniaformis
hydatigena. Senyawa ini merupakan turunan benzimidazol, obat ini berefek
pada hambatan pemasukan glukosa ke dalam cacing secara ireversibel sehingga
terjadi pengosongan glikogen dalam cacing. Mebendazol juga dapat menyebabkan
kerusakan struktur subseluler dan menghambat sekresi asetilkolinesterase
cacing.
a.
Farmakokinetika
Mebendazol
tidak larut dalam iar dan rasanya enak. Pada pemberian oral absorbsinya buruk.
Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah yang disebabkan oleh
absorbsinya yang rendah dan mengalami first pass hepatic metabolisme yang
cepat. Diekskresikan lewat urin hanya sekitar 2% dari dosis dalam bentuk yang
utuh dan metabolit sebagai hasil dekarboksilasi dalam waktu 48 jam. Absorbsi mebendazol
akan lebih cepat jika diberikan bersama lemak.
b.
Efek Nonterapi dan Kontraindikasi
Mebendazol
tidak menyebabkan efek toksik sistemik mungkin karena absorbsinya yang buruk
sehingga aman diberikan pada penderita dengan anemia maupun malnutrisi. Efek
samping yang kadang-kadang timbul berupa diare, sakit perut ringan yang
bersifat sementara, sakit kepala, pusing, reaksi alergi, alopesia, dan depresi
sumsum tulang. Dari studi toksikologi obat ini memiliki batas keamanan yang
lebar. Tetapi pemberian dosis tunggal sebesar 10 mg/kg BB pada tikus hamil
memperlihatkan
efek embriotoksik dan teratogenik . berikut sediaan mebendazol :
Gambar
3. Bentuk Sediaan Mebendazole
d. Penggunaan Klinis
Mebendazol dapat digunakan dalam mengobati :
1 Capillariasis
Mebendazole dengan dosis 200 mg dikonsumsi dua kali sehari
selama 20 hari dapat digunakan untuk mengobati capillariasis.
2 Echinococcosis
Mebendazole telah digunakan dalam pengobatan echinococcosis
tetapi albendazole lebih disukai. Biasaya dosis mebendazole untuk mengobati cystic
echinococcosis yaitu 40- 50 mg/kg setiap hari selama least 3- 6 bulan.
3 Toxocariasis.
Mebendazole telah digunakan dalam pengobatan toxocariasis dan efek
samping yang ditimbulkan oleh mebendazole memiliki kejadian yang lebih rendah
dari tiabendazole dan dengan dietilkarbamazin.
4 Strongyloidiasis
Mebendazole telah digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis
tetapi perlu diberikan untuk jangka waktu yang lebih lama dari albendazole
untuk mengontrol autoinfeksi, sehingga albendazole lebih disukai.
4.
Tiabendazol
Tiabendazol adalah suatu benzimidazol
sintetik yang berbeda, efektif terhadap strongilodiasis yang disebabkan
Strongyloides stercoralis (cacing benang), larva migrans pada kulit (atau erupsi
menjalar) dan tahap awal trikinosis (disebabkan Trichinella spinalis). Obat ini
menganggu agregasi
mikrotubular.
Meskipun hampir tidak larut dalam air, obat ini mudah diabsorbsi pada pemberian
per oral. Obat dihidroksilasi dalam hati dan dikeluarkan dalam urine. Efek
samping yang dijumpai ialah pusing, tidak mau makan, mual dan muntah. Terrdapat
beberapa laporan tentang gejala SSP. kasus lain yang terjadi eritema multiforme
dan sindrom Stevens Johnson yang dilaporkan akibat tiabendazol, yang dapat
menyebabkan kematian. Berikut sediaan tiabendazol :
Gambar
4. Bentuk Sediaan Tiabendendazole.
5.
Invermektin
Invermektin adalah obat pilihan untuk
pengobatan onkoserkiasis (buta sungai) disebabkan Onchocerca volvulus dan
terbukti pula efektif untuk scabies.
a.
Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Ivermektin
bekerja pada reseptor GABA (asam ɣ-amionobutirat) parasit. Aliran klorida
dipacu keluar dan terjadi hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing. Obat
diberikan oral. Tidak menembus sawar darah otak dan tidak memberikan efek
farmakologik. Namun, tidak boleh diberikan pada pasien meningitis karena sawar
tak darah lebih permiabel dan terjadi pengaruh SSP. Ivermektin juga tidak boleh
untuk orang hamil. Tidak boleh untuk pasien yang menggunakan
benzodiasepin
atau barbiturate dan obat yang bekerja pada reseptor GABA. Pembunuhan
mikrofilia dapat menyebabkan reaksi seperti ’’Mozatti’’ (demam, sakit kepala,
pusing, somnolen, hipotensi dan sebagainya). Berikut sediaan Ivermektin :
Gambar 5. Bentuk Sediaan Ivermectin.
b. Farmakokinetik
Ivermektin diabsorpsi setelah dosis oral, dengan puncak konsentrasi
plasma yang diperoleh setelah sekitar 4 jam. Ivermektin terikat dengan protein
plasma sekitar 93% dan memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 12 jam.
Ivermektin mengalami metabolisme dan diekskresikan sebagian besar sebagai
metabolit selama sekitar 2 minggu, terutama di feses, dengan kurang dari 1%
diekskresikan melalui urin dan kurang dari 2% melalui ASI.
c. Penggunaan Klinis
Ivermektin dapat digunakan dalam mengobati :
1. Loiasis
Ada penelitian yang menyatakan bahwa terjadi penurunan microfilaraemia
setelah pengobatan ivermectin pada pasien dengan loiasis, tetapi ada
kekhawatiran berpotensi terjadi
neurotoksisitas pada pasien.
2. Cutaneous larva migrans.
Ivermektin menjadi efektif dalam pengobatan cutaneous larva
migrans dengan dosis oral 200 mikrogram / kg setiap hari selama 1 2 hari telah
direkomendasikan.
3. Onchocerciasis.
Ivermektin mempunyai efek microfilaricidal terhadap Onchocerca
volvulus dan obat utama yang digunakan dalam mengendalikan onchocerciasis.
Sebuah dosis tunggal cepatmenghilangkan mikrofilaria dari kulit, dengan efek maksimum
setelah 1 sampai 2 bulan, dan secara bertahap menghilangkan mereka dari kornea
dan ruang anterior mata. Ivermektin memiliki sedikit efek pada cacing dewasa
tetapi dapat menekan pelepasan mikrofilaria dari cacing dewasa. Dalam
pengobatan onchocerciasis, dosis oral tunggal Ivermektin3 sampai 12 mg,
berdasarkan sekitar dari 150 mikrogram / kg untuk pasien dengan berat lebih
dari 15 kg dan lebih dari 5 tahun, diberikan setahun sekali atau setiap 6
bulan.
4. Strongyloidiasis
Ivermektin 200 mikrogram / kg dengan dosis tunggal, atau harian
pada dua hari berturut-turut, digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis.
6. Albendazole
Albendazole adalah antelmintik
oral berspektrum luas, yang merupakan obat pilihan dan telah diakui di Amerika
Serikat untuk pengobatan penyakit hydatid dan cysticercosis. Obat
ini juga merupakan obat utama untuk pengobatan infeksi Pinworm, Ascariasis,
Trichuriasis, Strongyloidiasis, dan infeksi-infeksi yang disebabkan
oleh kedua spesies cacing tambang (hookworm).
a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Albendazole dan metabolitnya, Albendazole Sulfoxide, diperkirakan
bekerja dengan jalan menghambat sintesis mikrotubulus dalam nematoda, dan
dengan demikian mengurangi ambilan glukosa secara irreversibel. Akibatnya,
parasit-parasit usus dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan. Pembersihan mereka
dari saluran cerna belum dapat menyeluruh hingga beberapa hari setelah
pengobatan. Obat ini juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit
hydatid, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta
efek ovocid (membunuh telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan
trichuriasis. Albendazole tidak mempunyai efek farmakologis pada manusia.
Obat ini (yang bersifat teratogenik dan embriotoksik pada beberapa spesies hewan)
tidak diketahui tingkat keamanannya pada wanita hamil. Albendazol kontra
indikasi terhadap ibu hamil.
b. Farmakokinetik
Absorpsi albendazol kurang baik pada saluran pencernaan namun absorpsi
dapat meningkat dengan adanya makanan berlemak.Albendazol secara cepat mengalami
first-pass metabolism. Metabolit albendazol sulfoksida memiliki aktivitas
antelmintik dan waktu paruh sekitar 8,5 jam. Berikatan dengan protein plasma
sebesar 70%. Albendazol sulfoxid dieliminasikan di empedu dan hanya sedikit yang
dieksresikan melalui urin.
c.
Penggunaan Klinis
Albendazole
diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan parasit-parasit intraluminal.
Namun untuk penanganan terhadap parasitparasit jaringan, obat ini harus diberikan
bersama dengan makanan berlemak. Digunakan Untuk infeksi-infeksi pinworm,
ancylostomiasis, dan ascariasis ringan, necatoriasis, atau trichuriasis,
pengobatan untuk orang dewasa dan anak-anak di atas usia 2 tahun adalah dosis
tunggal 400 mg secara oral. Untuk infeksi pinworm, dosis harus diulang dalam
dua minggu. Tindakan ini menghasilkan tercapainya angka kesembuhan 100% dalam
infeksi pinworm dan angka kesembuhan tinggi untuk infeksiinfeksi lain, atau
pengurangan besar terhadap jumlah telur bagi yang tidak tersembuhkan. Untuk
mencapai angka kesembuhan tinggi dalam ascariasis atau untuk mengurangi jumlah
cacing secara memuaskan untuk meringankan necatoriasis atau trichuriasis berat,
ulangi pemberian 400 mg/hari dalam 2-3 hari. Beikut gambar albendazol :
Albendazol
dapat digunakan dalam mengobati :
1
Ascariasis
Albendazole
digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan mebendazol dalam pengobatan
ascariasis. Kedua obat tersebut sama-sama sangat efektif dengan tingkat
kesembuhan yang lebih besar dari 98% dilaporkan dalam satu stud albendazol.
2
Capillariasis
Albendazole
dengan dosis 400 mg setiap hari selama 10 hari telah disarankan sebagai
alternatif menggantikan mebendazole untuk pengobatan capillariasis.
3
Loiasis
Albendazole
telah diteliti untuk mengurangi mikro filariasis pada pasien terinfeksi Loa
loa.
4
Mikrosporidiosis
Albendazol
telah dicoba dalam pengobatan dari infeksi protozoa mikrosporidiosis pada
pasien AIDS. Albendazol juga telah digunakan secara empiris dalam pengobatan
terkait infeksi dan komplikasi HIV.
5
Echinococcosis
Dalam
pengobatan echinococcosis, albendazole diberikan secara oral dengan makanan
dalam dosis 400 mg dua kali sehari selama 28 hari untuk pasien dengan berat
lebih dari 60 kg. Dosis 15 mg / kg sehari dalam dua dosis terbagi (untuk
maksimal total dosis harian 800 mg) digunakan untuk pasien dengan berat kurang
dari 60 kg.
Gambar 6. Bentuk Sediaan Albendazol.
7.
Tribendimidine ( L-type Levamisole dan Pirantel)
Tribendimidine termasuk obat antelmintik
baru yang dinamakan adalah L-type (levamisole dan Pirantel) dimana bekerja pada
reseptor agonis asetilkolin nikotinik. Dalam penelitian dinyatakan bahwa tribendimidine
aman dan memiliki aktivitas klinik yang baik terhadap Ascaris dan hookworm.
Tribendimidine tidak dapat digunakan sebagaiantelmintik dimana pasien telah
resisten terhadap levamisol atau pirantel dengan mekanisme aksi yang sama.
Namun, pribendimidine dapat
produktif
untuk digunakan dimana pasien resisten terhadap benzimidazole. Tribendimidine
dapat dikombinasi dengan antelmintik yang lain.
Gambar
7. Bentuk Sediaan Tribendimidine.
8.
Prazikuantel
Infeksi trematoda umumnya diobati dengan
prazikuantel. Obat ini merupakan obat pilihan untuk pengobatan semua bentuk
skistosomiasis dan infeksi cestoda seperti sistisercosis. Permeabilitas membrane
sel terhadap kalsium meningkat menyebabkan parasite mengalami kontraktur dan
paralisis. Prazikuantel mudah diabsorbsi pada pemberian oral dan tersebar
sampai ke cairan serebrospinal. Kadar yang tinggi dapat dijumpai dalam empedu.
Obat dimetabolisme secara oksidatif dengan sempurna, meyebabkan waktu paruh menjadi
pendek. Metabolit tidak aktif dan dikeluarkan melalui urin dan empedu. Efek
samping yang biasa termasuk mengantuk, pusing, lesu, tidak mau makan dan
gangguan pencernaan. Obat ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau
menyusui. Interaksi obat yangterjadi akibat peningkatan metabolisme telah dilaporkan
jika diberikan bersamaan deksametason, fenitoin, dan karbamazepin, simetidin
yang dikenal menghambat isozim sitokrom P-450, menyebabkan peningkatan kadar prazikuantel.
Prazikuantel tidak boleh diberikan untuk mengobati sistiserkosis mata karena
penghancuran organisme dalam mata dapat merusak mata.
Gambar
8. Bentuk Sediaan Prazikuantel
8.
Obat Untuk Pengobatan Cestoda
Cestoda atau cacing pita, bertubuh pipih,
bersegmen dan melekat pada usus pejamu. Sama dengan trematoda, cacing pita
tidak mempunyai mulut dan usus selama siklusnya.
1.
Niklosamid
Niklosamid adalah obat pilihan untuk
infeksi cestoda (cacing pita) pada umumnya.
a.
Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Kerjanya
menghambat fosforilasi anaerob mitokondria parasite terhadap ADP yang
menghasilkan energy untuk pembentukan ATP. Obat membunuh skoleks dan segmen
cestoda tetapi tidak telur-telurnya. Laksan diberikan sebelum pemberian niklosamid
oral. Ini berguna untuk membersihkan usus dari segmen-segmen cacing yang mati
agar tidak terjadi digesti dan pelepasan telur yang dapat menjadi sistiserkosisi.
Alcohol harus dilarang selama satu hari ketika niklosamid
diberikan.
b. Farmakokinetik
Niklosamida tidak signifikan diabsorpsi pada saluran pencernaan.
c. Penggunaan Klinis
Niklosamida adalah obat cacing yang aktif terhadap kebanyakan cacing
pita, termasuk cacing pita daging sapi (Taenia saginata), cacing pita babi
(T. solium), cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum) dan cacing
pita anjing (Dipylidium caninum). Niklosamid juga dapat diberikan untuk infeksi
dengan cacing pita kerdil, Hymenolepis nana. Niklosamida diberikan dalam
bentuk tablet, yang harus dikunyah secara menyeluruh sebelum menelan dengan
air. Untuk infeksi dengan cacing pita babi 2-g dosis tunggal diberikan setelah
sarapan ringan. Niklosamida tidak aktif terhadap bentuk larva (cysticerci),
pencahar diberikan sekitar 2 jam setelah dosis untuk mengeluarkan cacing yang terbunuh
dan meminimalkan kemungkinan migrasi telur T. solium ke dalam perut. Antiemetik
juga dapat diberikan sebelum pengobatan. Untuk infeksi cacing pita daging sapi
atau ikan dosis 2-g dari niklosamida dapat dibagi, dengan 1 g diminum setelah
sarapan dan 1 g satu jam kemudian.Pada infeksi cacing
pita kerdil dosis awal 2 g diberikan pada hari pertama diikuti oleh 1 g setiap
hari selama 6 hari. Anak-anak berusia 2 sampai 6 tahun diberikan setengah dosis
di atas dan yang di bawah usia 2 tahun diberikan seperempat dosis di atas.
B Obat-Obat Herbal Anti Kecacingan
a.
Tanaman Herbal
1.
Jeruju
·
Nama
Tanaman :
JERUJU (Acanthus ilicifolius)
·
Kandungan
:
-
Saponin,
Flavoinid, Polifenol, Alkaloid.
·
Cara
Pembuatan :
-
Giling
3-5 butir biji daruju halus. Seduh dengan ½
cangkir air panas. Setelah
dingin, minum
sekaligus.
·
Aturan
Pakai :
-
Pengobatan
ini dapat dilakukan 1x sehari selama 2-4 hari
berturut-turut.
2.
Delima
·
Nama
Tanaman :
DELIMA (Punica granatum L.)
·
Kandungan
:
-
Saponin,
Flavoinid, Polifenol.
·
Cara
Pembuatan :
-
Akar delima dicuci
bersih lalu dipotong kecil. Rebuslah dengan segelas air matang selama 15 menit.
Saring kemudian minum airnya sampai habis.
·
Aturan
Pakai :
-
1x
sehari, selama 2-3 hari
3.
Buah Pinang
·
Nama
Tanaman :
PINANG (Areca catechu L.)
·
Kandungan
:
-
Alkaloid,
Saponin, Flavoinid.
·
Cara
Pembuatan :
-
Siapkan
¼ buah pinang, setengah jari rimpang kunyit, dan setengah jari rimpang
temulawak. Campurkan bahan tersebut menjadi satu dalam wajan yang berisi air
400 cc, lalu rebus hingga tersisa 200 cc, kemudian saring. Minumlah air hasil
saringan tersebut untuk mengatasi cacingan.
·
Aturan
Pakai :
-
1x
sehari, selama 2-3 hari
-
4.
Pare
·
Nama
Tanaman :
PARE (Momordica charantia L.)
·
Kandungan
:
-
Saponin,
Flavoinid, Polifenol.
·
Cara
Pembuatan :
- Daun segar
sebanyak 7 g, diseduh dengan 1/2 cangkir air panas. Setelah dingin disaring, tambahkan 1 sendok teh madu. Aduk sampai
merata, minum sekaligus sebelum makan pagi.
·
Aturan
Pakai :
-
1x
sehari, selama 2-3 hari
5.
Sidaguri
·
Nama
Tanaman :
SIDAGURI (Sida rombifolia L.)
·
Kandungan
:
-
Saponin,
Alkaloid, Tanin..
·
Cara
Pembuatan :
- Ambil daun sidaguri sebanyak seperempat genggam, setelah
dibersihkan, kemudian digiling hingga halus. Dan selanjutnya sidaguri halus itu
dituangkan ke dalam air matang sebanyak tiga perempat cangkir yang telah
dibubuhi garam hingga melarut, setelah itu diperas. Hasil perasan
tersebutlah yang di minum.
·
Aturan
Pakai :
-
2x
sehari, selama 4 hari.
b.
Sediaan Obat Tradisional
1.
SOXTAN
·
Komposisi
:
- Areca catechu 50 mg
- Zingiber cassummunar 50 mg
- Leucas Lavandufolia 25 mg
- Curcuma heynenna 50 mg
- Momordica charantina 75 mg
·
Khasiat
: Mengatasi cacingan dan perut buncit akibat cacing gelang, cacing kremi, dan
cacing pita.
·
Aturan
Minum : 3 x 2 kapsul/hari sebelum makan.
2.
HERMUNO
·
Dosis
: 2 x 1kapsul/ 7 hari Maksimal 2x2 kapsul/ hari
·
Peringatan
dan Perhatian : Tidak untuk dikonsumsi anak-anak, wanita hamil dan menyusui,
serta pada orang-orang yang mempunyai intoleransi individual pada bahan-bahan
penyusun obat.
·
Anjuran
: Dapat diminum sebelum makan atau sesudah makan dan perbanyak minum air putih.
·
Kemasan
dan Sediaan : Dus. Botol @ 30, 50, 75 & 100 kapsul.
3.
XANTHOME
·
Komposisi
: Madu, sari kurma, propolis, kulit manggis, temulawak, gamat emas, minyak
ikan, meniran, habbatusauda, minyak zaitun, spirulina, pegagan, bunga rosela.
·
Khasiat
:
-
Meningkatkan
stamina dan sistem kekebalan tubuh
-
Menambah
nafsu makan
-
Mengatasi
cacing dan sembelit
·
Aturan
Minum :
-
Usia
1 tahun- 3 tahun : 2x2 sdt/hari
-
Usia
4 tahun-12 tahun : 2x1-2 sdm/hari
-
Usia
12 tahun ke atas : 2x3-4 sdm/hari
BAB IV
PEMBAHASAN
Swamedikasi
merupakan salah satu elemen penting dalam usaha
peningkatan kesehatan masyarakat. Definisi swamedikasi menurut Departemen Kesehatan (Depkes) (1993) adalah
upaya seseorang dalam mengobati gejala
penyakit tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil
masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan
pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan keluhan dan penyakit
ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,
cacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain
(Muchid dkk., 2006).
Pembahasan kali ini difokuskan
pada golongan pertama dan kedua. Obat Bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran
dan dapat dibeli tanpa resep dokter,
yang ditandai khusus dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam pada kemasan dan etiket obatnya. Obat
Bebas Terbatas adalah obat yang
sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan
tanda peringatan dan ditandai lingkaran
biru bergaris tepi hitam (Muchid dkk., 2006).
Obat Over-The-Counter atau OTC
adalah obat selain obat keras yang dapat
diperoleh di apotek-apotek atau toko obat tanpa resep dokter, sehingga menurut definisi ini, yang dapat digolongkan
sebagai obat OTC adalah golongan Obat
Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Obat-obat seperti ini dapat diserahkan kepada masyarakat tanpa resep
dalam rangka meningkatkan kemampuan
masyarakat tersebut dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah
kesehatan (Depkes, 1993).
Obat OTC pada umumnya ditujukan
untuk mengatasi gejala penyakit yang
ringan, contohnya untuk menurunkan panas karena demam, meredakan batuk, atau meredakan hidung tersumbat.
Peringatan tetap ada pada golongan obat
bebas terbatas walaupun obat tersebut aman digunakan untuk pengobatan sendiri, karena keamanan
obat tersebut tergantung dari takaran
spesifik yang sudah ditentukan.
Salah satu penyakit yang dapat
diswamedikasi adalah infeksi cacingan. Infeksi
cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti
lebih dari 2 miliar manusia diseluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru
yang lebih spesifik dangan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit ini masih
tetap merupakan salah satu masalah antara lain disebabkan oleh kondisi sosial
ekonomi di beberapa bagian dunia. Jumlah manusia yang dihinggapinya juga
semakin bertambah akibat migrasi, lalu-lintas dan kepariwisataan udara dapat
menyebabkan perluasan kemungkinan infeksi. (Tjay, 2007)
Infeksi cacing atau biasa disebut dengan
penyakit cacingan termasuk dalam infeksi yang di sebabkan oleh parasit. Parasit
adalah mahluk kecil yang menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri
(baik di luar atau di dalam tubuh) dan
mengambil
nutrisi dari tubuh inangnya. Pada kasus cacingan, maka cacing tersebut dapat
melemahkan tubuh inangnya dan menyebabkan gangguan kesehatan. Cacingan biasanya
terjadi karena kurangnya kesadaran akan kebersihan baik terhadap diri sendiri
ataupun terhadap lingkungannya. Cacingan dapat menular melalui larva/telur yang
tertelan & masuk ke dalam tubuh. Cacing merupakan hewan tidak bertulang
yang berbentuk lonjong & panjang yang berawal dari telur/larva hingga
berubah menjadi bentuk cacing dewasa. Cacing dapat menginfeksi bagian tubuh
manapun yang ditinggalinya seperti pada kulit, otot, paru-paru, ataupun
usus/saluran pencernaan. penyakit ini bisa menurunkan tingkat kesehatan. Di
antaranya, menyebabkan anemia, IQ menurun, lemas tak bergairah, ngantuk, malas
beraktivitas serta berat badan rendah.
Dalam melakukan
swamedikasi, ada beberapa obat-obat yang dapat digunakan seperti golongan obat
bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek dan obat herbal.Oleh karena itu,
makalah ini membahas mengenai swamedikasi
pada cacingan.
1.
Swamedikasi dengan bebas terbatas
a. Pirantel Pamoat obat
Obat ini efektif untuk cacing gelang,
cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi
pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat enzim
kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar
bersama tinja, <15% lewat urine. Pirantel pamoat sangat efektif terhadap
Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris.
Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls neuromuskuler,
hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak
peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja.
Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati Resorpsinya dari usus ringan
kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan
lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan yaitu
berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala.
Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali diminum.Dosis biasanya
dihitung per berat badan (BB), yaitu 10 mg / kgBB. Walaupun demikian, dosis
tidak boleh melebihi 1 gr. Sediaan biasanya berupa sirup (250 mg/ml) atau
tablet (125 mg /tablet). Bagi orang yang mempunyai berat badan 50 kg misalnya,
membutuhkan 500 mg pirantel. Jadi jangan heran jika orang tersebut diresepkan 4
tablet pirantel (125 mg) sekali minum.Nama dagang pirantel pamoat yang beredar
di Indonesia bermacam-macam, ada Combantrin, Pantrin, Omegpantrin, dan
lain-lain (MIMS,1998) . Untuk dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang
sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg).
2. Swamedikasi dengan tanaman herbal
a.
Pare
·
Nama
Tanaman : PARE (Momordica
charantia L.)
Kandungan : Saponin, Flavoinid, Polifenol.
Cara Pembuatan :
- Daun segar
sebanyak 7 g, diseduh dengan 1/2 cangkir air panas. Setelah dingin disaring, tambahkan 1 sendok teh madu. Aduk sampai
merata, minum sekaligus sebelum makan pagi.
·
Aturan
Pakai :
-
1x
sehari, selama 2-3 hari
b.
Sidaguri
·
Nama Tanaman :SIDAGURI (Sida rombifolia L.)
·
Kandungan
: Saponin, Alkaloid, Tanin..
§ Cara Pembuatan :
Ambil daun sidaguri sebanyak seperempat genggam, setelah
dibersihkan, kemudian digiling hingga halus. Dan selanjutnya sidaguri halus itu
dituangkan ke dalam air matang sebanyak tiga perempat cangkir yang telah
dibubuhi garam hingga melarut, setelah itu diperas. Hasil perasan
tersebutlah yang di minum.
·
Aturan
Pakai : 2x sehari, selama 4 hari.
c.
Sediaan
Obat Tradisional
1.
SOXTAN
·
Komposisi
:
- Areca catechu 50 mg
- Zingiber cassummunar 50 mg
- Leucas Lavandufolia 25 mg
- Curcuma heynenna 50 mg
- Momordica charantina 75 mg
·
Khasiat
: Mengatasi cacingan dan perut buncit akibat cacing gelang, cacing kremi, dan
cacing pita.
·
Aturan
Minum : 3 x 2 kapsul/hari sebelum makan.
2.
HERMUNO
·
Dosis
: 2 x 1kapsul/ 7 hari Maksimal 2x2 kapsul/ hari
·
Peringatan dan Perhatian :
Tidak untuk dikonsumsi anak-anak, wanita hamil dan menyusui, serta pada
orang-orang yang mempunyai intoleransi individual pada bahan-bahan penyusun
obat.
·
Anjuran
: Dapat diminum sebelum makan atau sesudah makan dan perbanyak minum air putih.
·
Kemasan
dan Sediaan : Dus. Botol @ 30, 50, 75 & 100 kapsul.
3.
XANTHOME
·
Komposisi
: Madu, sari kurma, propolis, kulit manggis, temulawak, gamat emas, minyak
ikan, meniran, habbatusauda, minyak zaitun, spirulina, pegagan, bunga rosela.
·
Khasiat
:
-
Meningkatkan
stamina dan sistem kekebalan tubuh
-
Menambah
nafsu makan
-
Mengatasi
cacing dan sembelit
·
Aturan
Minum :
-
Usia
1 tahun- 3 tahun : 2x2 sdt/hari
-
Usia
4 tahun-12 tahun : 2x1-2 sdm/hari
-
Usia
12 tahun ke atas : 2x3-4 sdm/hari
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
simpulan dari makalah ini Antara lain :
A>
Infeksi cacing atau
biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk dalam infeksi yang di sebabkan
oleh parasit. Parasit adalah mahluk kecil yang menyerang tubuh inangnya dengan
cara menempelkan diri (baik di luar atau di dalam tubuh) dan mengambil nutrisi
daritubuh inangnya.
B>
Jenis-jenis cacing yang
dapat menginfeksi adalah :
-
Cacing Gelang: (Ascaris lumbricoides)
-
Cacing Cambuk: (Tricuris trichiura)
-
Cacing Tambang: (Necator Americanus Dan Ancylostoma Duodenale)
-
Cacing Kremi: (Enterobius vermicularis)
b.
Gejala umum jika
terinfeksi cacing adalah timbulnya rasa mual, lemas, hilangnya nafsu makan,
rasa sakit di bagian perut, diare, dan turunnya berat badan karena penyerapan
nutrisi yang tidak mencukupi dari makanan. Pada infeksi yang lebih lanjut
apabila cacing sudah berpindah tempat dari usus ke organlain, sehingga
menimbulkan kerusakan organ & jaringan, dapat timbul gejala demam, adanya benjolan
di organ/jaringan tersebut, dapat timbul reaksi alergi terhadap larva cacing,
infeksi bakteri, kejang atau gejala gangguan syaraf apabila organ otak sudah
terkena.
c. Obat-obat
penyakit cacing yang digunakan
dalam berswamedikasi
1.
obat bebas terbatas, contohnya pirantel pamoat
2.
tanaman herbal contohnya tanaman pare dan biduri
3.
produk herbal contohnya hermuno,
hexontan dan madu xanthome
DAFTAR PUSTAKA
Kasim F, Yulia T, Kosasih. ISO Indonesia volume 44.
Jakarta : Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia ; 2009.
Kasim,
Fauzi, dkk.2009. ISO Indonesia volume 44. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Jakarta
Rosidiana
Safar, 2010, Parasitologi Kedokteran : Protozoologi, Helmintologi,
Entomologi, Cetakan I, Yrama Widya, Bandung
World Health Organization (WHO). Angka
Kematian Bayi. Amerika: WHO; 2012.
Depkes RI, 2006. Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 424/Menkes/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian
Cacingan.
Gandahusada S. 2000.
Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta. EGC
Permenkes 2006. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Tentang Penanggulangan. Jakarta. Depkes RI
Permenkes 2017. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Tentang Penanggulangan. Jakarta : Depkes RI
Maria
Holly. 2000. Media Litbang Kesehatan. Vol 10. Artikel.