Kamis, 04 Oktober 2018

Peran Apoteker rumah sakit dalam pengambilan keputusan terapeutik kolaboratif.


Peran Apoteker rumah sakit dalam pengambilan keputusan terapeutik kolaboratif.
Alwi Jaya. S. Farm, NIM: N014172758, Kelas: Apoteker B, Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar
Pendahuluan
Menurut Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations, kesalahan medis menempati peringkat kelima dalam sepuluh penyebab kematian paling banyak di Amerika Serikat. Kesalahan pengobatan kerap terjadi di rumah sakit. Laporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa kesalahan pengobatan berada pada urutan pertama (24,8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan.1 Akibat kesalahan pengobatan di ruang perawatan intensif berpotensi fatal bagi pasien apabila dibandingan ruang rawat inap lainnya. Hal ini disebabkan  oleh tingkat keparahan penyakit,  banyak komplikasi dan polifarmasi. Kesalahan pengobatan ini dapat terjadi pada 4 tahapan proses pelayanan obat. Kesalahan peresepan dan kesalahan pemberian obat  merupakan penyebab utama kejadian merugikan pasien karena obat (Marlina, 2016: 2)
Akar dari permasalahan tersebut adalah buruknya kolaborasi antar tenaga kesehatan yang menyebabkan keterlambatan pengobatan serta kesalahan fatal pada operasi. Di Indonesia, pada 98,69% pembuatan resep terdapat kesalahan yang meliputi kesalahan dalam penulisan resep oleh dokter, apoteker yang tidak tepat dalam proses penyiapan obat, dan kesalahan pada saat pemberian informasi mengenai obat tersebut. National Prescribing Service Australia menemukan bahwa 6% kasus di rumah sakit disebabkan karena efek samping obat dan tingkat kesalahan yang tinggi selama pemindahan perawatan. Sumber dari masalah tersebut adalah kolaborasi yang buruk antara dokter dan apoteker. Masalah ini menjadi contoh kolaborasi yang buruk antar tenaga kesehatan. Kolaborasi yang buruk adalah faktor yang paling penting dalam kesalahan medikasi dan pengobatan.Pada praktik kolaborasi antar tenaga kesehatan sering terjadi masalah seperti ketidakseimbangan wewenang, peran yang tumpang tindih, serta struktur organisasi. Masalah tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan implementasi dari komponen praktik kolaborasi yang baik (Hakiman, Assica Permata Amalya dkk. 2019: 2)
            Pelayanan yang berpusat pada pasien dan kerjasama antar tenaga kesehatan, praktek interprofesional kolaboratif merupakan ranah yang sedang berkembang dalam rumah sakit dan setting pelayanan kesehatan (Institute of Medicine, 2013). Praktek kolaborasi antara tenaga kesehatan menjadi salah satu primadona dalam peningkatan derajat kesehatan pasien. Kolaborasi yang dilakukan oleh perawat-dokter-farmasi serta tenaga kesehatan lain yang dikenal dengan interprofessional collaboration practice (IPC). Pendekatan ini guna mencapai derajat tertinggi kesehatan pasien dan pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan itu sendiri (WHO, 2012;)
 Salah satu tenaga ahli kesehatan yaiitu Apoteker yang juga bertanggung jawab dalam meningkatkan kesehatan masyarakat (pasien) yang dalam hal ini terkait dengan pemastian mutu, keamanan dan efektifitas penggunaan obat. Untuk itu perlunya perlunya peran dari seorang farmasis dalam pengambilan keputusan terapetik untuk menghindari kesalahan dalam pengobatan.
Pentinya peran apoteker dalam pengambilan keputusan terapeutik
            Praktek kolaborasi antara tenaga kesehatan menjadi salah satu primadona dalam peningkatan derajat kesehatan pasien. Kolaborasi yang dilakukan oleh perawat-dokter-farmasi serta tenaga kesehatan lain yang dikenal dengan interprofessional collaboration practice (IPC). Pendekatan ini guna mencapai derajat tertinggi kesehatan pasien dan pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan itu sendiri (Eriyono.2017:2)
Salah satu tenaga profesi kesehatan adalah apoteker. Tugas seorang apoteker atau farmasis adalah melaksanakan pekerjaan kefaramasian. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PP 51 tahun 2009). Hal tersebut, mengindetifikasikan bahwa seorang apoteker harus mampu menjamin bahwa obat yang akan digunakan oleh pasien  bermutu, aman dan efektif untuk digunakan sehingga penggunaan obat yang salah atau medication eror bisa diminimalisir dengan adanya apoteker.
Dalam farmasi klinik seorang farmasis atau apoteker mempunyai tugas yang sangat penting. Pelayanan farmasi klinik yang bisa di lakukan oleh apoteker di rumah sakit meliputi: a. pengkajian dan pelayanan Resep; b. penelusuran riwayat penggunaan Obat; c. rekonsiliasi Obat; d. Pelayanan Informasi Obat (PIO); e. konseling; f. visite; g. Pemantauan Terapi Obat (PTO); h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); j. dispensing sediaan steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) (Permenkes No. 72 : 2016)
            Salah satu permasalahan yang terjadi di rumah sakit yaitu tingginya tingkat medication eror. Medication eror adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat di cegah. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kesalahan dalam peresepan merupakan hal yang paling mudah dicegah. Pencegahan kesalahan peresepan akan menghindarkan terjadi kesalahan pada tahapan pengobatan selanjutnya. Salah satu strategi  dalam pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pendampingan apoteker dalam ruang perawatan, termasuk pendampingan apoteker saat visite dokter (Marlina, 2016: 5)
            Penelitian oleh Marlina Dkk pada tahun 2016 menyimpulkan terdapat korelasi negatif kuat dan bermakna antara frekuensi pemberian rekomendasi pada pendampingan apoteker terhadap  frekuensi kesalahanan peresepan (r= –0,638; p=0,000). Semakin banyak frekuensi rekomendasi yang diberikan apoteker maka akan semakin berkurang frekuensi kesalahan peresepan. Farmasi klinik merupakan hal yang baru di ruang perawatan intensif, sehingga apoteker yang melakukan pendampingan dapat mulai membangun komunikasi dengan dokter. Rasa segan dan takut salah masih tampak dalam proses pendampingan sehingga apoteker belum dapat memberikan rekomendasi kepada dokter dengan maksimal. Hal ini terjadi karena belum adanya kolaborasi antar profesi dokter dan apoteker. Terciptanya kolaborasi memerlukan waktu dan komunikasi efektif sehingga dokter-apoteker merasa saling membutuhkan dalam pengelolaan pengobatan pasien. Pada penelitian ini dokter  menerima  seluruh rekomendasi yang diberikan apoteker (100%). Hampir sama dengan penelitian lain yang  menunjukkan tingkat penerimaan dokter sangat baik 99%. Tingkat penerimaan dokter menunjukkan sikap dokter terhadap kerjasama dalam pendampingan ini (Marlina, 2016: 5)
Walaupun dalam pendampingan apoteker menunjukkan pengaruh yang bermakna terhadap kesalahan peresepan, akan tetapi terdapat faktor-faktor lain (59,3%) yang juga memberikan pengaruh terhadap kesalahan peresepan yaitu: lingkungan kerja, kerja sama tim,  faktor petugas, faktor tugas dan faktor pasien seperti yang dilaporkan pada penelitian Dean et al. dan Ryan et al. Akan tetapi yang terpenting  bahwa pendampingan apoteker terbukti efektif sebagai salah satu strategi pencegahan kesalahan peresepan, sehingga dapat dilakukan untuk ruang rawat inap lainnya (Marlina, 2016: 5)
Keterbatasan penelitian ini adalah ketaatan dokter terhadap kesepakatan terbatas karena belum ada formularium di rumah sakit. Selanjutnya apoteker yang melakukan pendampingan belum pernah mendapatkan pelatihan tentang farmasi klinik, sehingga apoteker belum merasa percaya diri dalam memberikan rekomendasi secara maksimal kepada dokter. Kegiatan pendampingan apoteker perlu ditingkatkan sebagai awalan implementasi farmasi klinik dan proses kolaborasi antara dokter dan apoteker. Hal ini membutuhkan dukungan sistem manajemen rumah sakit agar komunikasi interpersonal diantara profesi lebih mudah terwujud (Marlina, 2016: 5)
Oleh karenanya penerapan Interprofesinal Education (IPE) dalam perguruan tinggi dalam lingkup Ilmu Kesehatan sangat diharapkan di terapkan secara maksimal guna menciptakan tenaga ahli kesehatan yang profesinal dan bisa mengtasi permasalahn kesehatan yang terjadi dengan melaksanakan kerja sama dengan menjunjung tinggi tanggung jawab profesional masing-masing.
Selain itu, seorang apoteker harus mempersiapkan diri untuk bisa terjun dan bisa meningkatkan profesinalitas keahlinya dengan meningkatkan ilmu kefarmasian dan ilmu yang mendukung dari profesinya tersebut, sesuai dengan salah satu peran apoteker dalam  Nine star of pharmacist yaitu life long learner ( belajar sepanjang waktu). Dengan begitu, apoteker akan mampu menjadi salah satu tenaga kesehatan yang dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan (decision Maker) terapeutik ungtuk pasien.
Daftar Pustaka
Budi Wijoyo, Eriyono dan Suki Hananto. 2017. Pengembangan Pasien Virtual untuk Peningkatan Pendekatan Inter-Professional Education (IPE) dalam Dunia Pendidikan Keperawatan di Indonesia . Jurnal Kperawatan Muhammadiyah
Hakiman, Assica Permata Amalya dkk. 2019. Persepsi Mahasiswa Profesi Kesehatan Universitas Padjadjaran terhadap Interprofessionalism Education. Bandung: Univ Padjajaran.
Turnodihardjo1,Marlina A ,dkk. 2016. Pengaruh Pendampingan Apoteker Saat Visite Dokter terhadap Kesalahan Peresepan di Ruang Perawatan Intensif. Malang : Univ. Brawijaya
MENKES RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. MENKES RI
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta : MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

cacingan


MAKALAH
SWAMEDIKASI KECACINGAN






Oleh:
Kelas               : Apoteker B
Kelompok      : 4
Anggota          :  HIKMAR RAVENSYAH                                    (N014172756)
   MOH. KRISHNA MURTI K.                  (N014172757)
   ALWI JAYA                                              (N014172758)
   AYU SETIAWATI IRWAN                    (N014172759)
SEMESTER AKHIR 2017/2018
PROGRAM  S TUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar belakang
Penyakit kecacingan erat hubungannya dengan kebiasaan hidup sehari-hari. Penyakit kecacingan biasanya tidak menyebabkan penyakit yang berat dan angka kematian tidak terlalu tinggi namun dalam keadaan kronis pada anak dapat menyebabkan kekurangan gizi yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada tumbuh kembang anak. Khusus pada anak usia sekolah, keadaan ini akan mengakibatkan kemampuan mereka dalam mengikuti pelajaran akan menjadi berkurang (Safar, 2010).
World Health Organization (WHO)tahun 2012 memperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi dengan cacing yang ditularkan melalui tanah. Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah di mana parasit ini ditularkan secara intensif dan membutuhkan pengobatan serta tindakan pencegahan.
Di Indonesia penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevalensinya yaitu 60% - 80%. Hal ini terjadi dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografis yang temperatur dan kelembaban yang sesuai untuk tempat hidup dan berkembang biaknya cacing. Pengaruh lingkungan global dan semakin meningkatnya komunitas manusia serta kesadaran untuk menciptakan perilaku higiene dan sanitasi yang semakin menurun merupakan faktor yang mempunyai andil yang besar terhadap penularan parasit ini. Penyakit infeksi kecacingan juga merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi (Kep-Menkes, 2006).
B.       Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah pengobatan sendiri (swamedikasi), serta mengetahui patofisiologi, jenis, gejala/manifestasi klinik serta penatalaksanaannya baik secara farmakologi maupun non farmakologi dan juga cara penanganan secara swamedikasi dari penyakit cacingan atau kecacingan. Makalah ini juga bertujuan menambah pengetahuan kita terhadap penyakit cacingan.
C.            Rumusan Masalah
  1. Bagaimana patofisiologi penyakit kecacingan ?
  2. Bagaimana pelaksanaan terapi (farmakologi dan non farmakologi) penyakit kecacingan?
  3. Bagaimana penanganan penyakit kecacingan secara swamedikasi baik menggunakan obat sintetis maupun obat herbal?
D.       Tujuan
  1. Mengetahui patofisiologi penyakit kecacingan
  2. Mengetahui penatalaksanaan terapi (farmakologi dan non farmakologi) penyakit kecacingan
  3. Mengetahui penanganan penyakit kecacingan secara swamedikasi baik menggunakan obat sintetis maupun obat herbal

BAB II
TEORI UMUM
A.       Penyakit Cacingan
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.  Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
Infeksi cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang sangat erat dengan kebiasaan defekasi (buang air besar/BAB) sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum makan serta anak-anak yang bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki dan kebiasaan memakan tanah (geophagia). Kebiasaan BAB sembarangan menyebabkan tanah terkontaminasi telur cacing.  Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab dan kemudian berkembang menjadi telur infektif. Telur cacing infektif yang ada di tanah dapat tertelan masuk ke dalam pencernaan manusia bila tidak mencuci tangan sebelum makan dan infeksi Cacingan juga dapat terjadi melalui larva cacing yang menembus kulit (Kementrian Kesehatan : 2017)

B.       Jenis –jenis cacing
1.      Ascaris lumbricoides 
a.        Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.  Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10)
.
Gambar 1. Daur Hidup Ascaris lumbricoides
b.      Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan.  Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat  cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)


c.       Gejala Klinik dan Diagnosis
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
d.      Epidemiologi
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat.  Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah (Gandahusada, 2000). 
e.       Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
2.       Ancylostoma (cacing tambang) 
a.        Morfologi dan Daur Hidup
 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.  Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.  Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru.  Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006). 
Gambar 2. Daur hidup Ancylostoma (cacing tambang) Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006)


b.      Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan.  Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat  cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
c.       Gejala Klinik dan Diagnosis
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
d.      Epidemiologi
 Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat.  Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000).  Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.
3.      Trichuris trichiura
a.       Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus.  Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningkuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.  Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000). 
Gambar 3. Daur hidup Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006)
b.      Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi.  Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006)
c.       Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000).
d.       Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.  Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000).
 Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).


C.       Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH
Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain :
1.      Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan. 
2.      Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18).
 Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000). 
3.      Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002). 
4.      Perilaku
 Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991).
5.    Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah.
6.      Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehinggamudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).
7.      Penanganan Penderita
Penanganan Penderita dilakukan melalui pengobatan Penderita, dan konseling pada Penderita dan keluarga.
a.      Pengobatan Penderita
Pengobatan Penderita dilakukan pada setiap Penderita yang ditemukan oleh tenaga kesehatan atau pada fasilitas pelayanan kesehatan. Pengobatan diberikan terhadap penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif Cacingan. Pengobatan ini dilakukan di sarana kesehatan bagi Penderita yang datang berobat sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau hasil pemeriksaan klinis dinyatakan positif menderita Cacingan. Untuk kasus dengan tinja positif usia < 2 tahun dan ibu hamil, dapat diberikan obat cacing dengan dosis yang disesuaikan.  Untuk anak usia Balita diberikan sediaan berupa sirup (Permenkes,2017).

D.    Macam-macam obat cacing adalah:
1.     Albendazol
Albendazol merupakan obat cacing berspektrum luas. Obat bekerja dengan menghambat pembentukan energi cacing sehingga mati. Albendazol juga memiliki efek larvisida terhadap cacing gelang (A. lumbricoides) dan cacing tambang serta memiliki efek ovisida terhadap cacing gelang (A.lumbricoides), cacing tambang (A.duodenale) dan cacing cambuk (T.trichiura). Setelah pemberian oral, albendazol akan segera mengalami metabolisme lintas pertama dihati menjadi metabolit aktif albendazol-sulfoksida. Absorbsi obat akan meningkat bila diberikan bersama makanan berlemak. Waktu paruh albendazol adalah 8 – 12 jam dengan kadar puncak plasma dicapai dalam 3 jam.  Pada pasien dewasa dan anak usia 2 tahun diberikan dosis tunggal 400 mg per oral. Untuk askariasis berat dapat diberikan selama 2 – 3 hari (Permenkes,2017).
WHO merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia antara 12 – 24 bulan.  Penggunaan yang tidak lebih dari 3 hari, hampir bebas dari efek samping. Efek samping biasanya ringan dan berlangsung sekilas yaitu rasa tidak nyaman di lambung, mual, muntah, diare, nyeri kepala, pusing, sulit tidur dan lesu. Albendazol tidak boleh diberikan pada Penderita yang memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap obat golongan benzimidazol dan penderita sirosis. Pada askariasis berat, dapat terjadi erratic migration yaitu hiperaktivitas A. lumbricoides yang bermigrasi ke tempat lain dan menimbulkan komplikasi serius seperti sumbatan saluran empedu, apendisitis, obstruksi usus dan perforasi intestinal yang disertai peritonitis. Pada pasien dengan demam serta wanita hamil trimester satu. Pengobatan dapat ditunda bila terdapat salah satu kontra indikasi di atas (Permenkes,2017).
2.      Mebendazol
 Mebendazol memiliki mekanisme kerja yang sama dengan albendazol.  Setelah pemberian oral, kurang dari 10% obat akan diabsorpsi kemudian diubah menjadi metabolit yang tidak aktif dengan waktu paruh 2 – 6 jam. Ekskresi terutama melalui urin dan sebagian kecil melalui empedu. Absorpsi akan meningkat bila diberikan bersama makanan berlemak.  Dosis untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 2 X 100 mg/hari, selama 3 hari berturut-turut untuk askariasis, cacing tambang dan trikuriasis. Sebelum ditelan sebaiknya tablet dikunyah lebih dulu. Pemberian jangka pendek hampir bebas dari efek samping yaitu mual, muntah, diare dan nyeri perut yang bersifat ringan. Pada dosis tinggi sehingga ada efek sistemik dapat terjadi agranulositosis, alopesia, peningkatan enzim hati dan hipersensitivitas. Kontraindikasi untuk ibu hamil karena ditemukan efek teratogenik pada hewan coba. Pada anak usia dibawah 2 tahun, perlu berhati hati karena data penggunaan masih terbatas dan ada laporan terjadi kejang. Seperti pada albendazol erratic migration dapat terjadi pada askariasis berat (Permenkes,2017).
3.      Pirantel pamoat
Pirantel pamoat efektif untuk askariasis dan cacing tambang. Obat tersebut bekerja sebagai neuromuscular blocking agent yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dan penghambatan kokinesterase sehingga menghasilkan paralisis spastik. Dosis yang dianjurkan 10 mg-11 mg/kg BB per oral, maksimum 1 gram, tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek sampingnya jarang, ringan dan berlangsung sekilas antara lain mual, muntah, diare, kram perut, pusing, mengantuk, nyeri kepala, susah tidur, demam, lelah.  Hati-hati pada penderita gangguan fungsi hati, karena dapat meningkatkan serum amino transferase pada sejumlah kecil Penderita yang memperoleh pirantel. Data penggunaan obat pada ibu hamil dan anak usia dibawah 1 tahun masih terbatas, oleh karena itu penggunaan untuk kelompok tersebut tidak dianjurkan (Permenkes,2017).
4.      Pemberian Obat Pencegahan Massal
Obat yang digunakan dalam Pemberian Obat Pencegahan Massal Cacingan adalah Albendazol atau Mebendazol, dalam bentuk sediaan tablet kunyah dan sirup.  Untuk anak usia Balita diberikan dalam bentuk sediaan sirup, sedangkan untuk anak usia pra sekolah dan usia sekolah diberikan dalam bentuk sediaan tablet kunyah. Dosis Albendazol yang digunakan adalah sbb : untuk penduduk usia >2 tahun – dewasa : 400 mg dosis tunggal, sedangkan anak usia 1 – 2 th : 200 mg dosis tunggal. Obat Mebendazol dapat pula digunakan dalam Pemberian Obat Pencegahan Massal, dosis yang dipergunakan adalah 500 mg dosis tunggal (Permenkes,2017).
5.      Pengobatan selektif 
 Pengobatan selektif diberikan kepada kabupaten/kota yang memiliki prevalensi rendah (Permenkes,2017).
b.      Konseling pada Penderita dan Keluarga
 Kepada Penderita dan keluarganya diberikan edukasi tentang upaya-upaya pencegahan penularan Cacingan seperti cuci tangan pakai sabun,menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga, menjaga kebersihan dan keamanan makanan, menggunakan jamban sehat, dan mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat (Permenkes,2017).




BAB III
PENGOBATAN KECACINGAN
A. Obat-Obat sintesis Untuk Pengobatan Nematoda
Nematoda adalah Cacing ini berukuran kecil (mm) sampai satu meter atau lebih, telur mikroskopis. Contoh anggota nematoda yang parasit pada manusia yakni cacing kremi, cacing pita dan cacing gelang.
1. Piperazin
Piperazin pertama kali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard (1949). Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A. lumbricoides dan E. Vermicularis. Piperazin juga terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Piperazin dalam bentuk
garam sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan tartrat. Garam-garam ini bersifat stabil non higroskopis, pemeriannya berupa kristal putih yang sangat larut dalam air, larutannnya bersifat sedikit asam. Piperazin diabsorpsi melalui saluran cerna, dan diekskresi melalui urine.
a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin sehinggga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Cacing yang telah terkena obat dapat menjadi normal kembali bila ditaruh dalam larutan garam faal pada suhu 37°C. Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan mengganggu permeabilitas membrane sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis. Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang diberi piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya ditemukan suatu derivat nitrosamine yakni N-monistrosopiperazine dan arti klinis dari penemuan ini belum diketahui.
b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, sangat baik. Sebagian obat yang diserap mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin. Menurut Rogers (1958), tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat dalam kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antar individu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama 24 jam.
c. Efek nonterapi dan kontraindikasi
Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali terkadang nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian secara intravena menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita epilepsi dan gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkannitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benarbenar perlu atau kalau tak tersedia obat alternatif. Piperazin bersifat teratogenic.
d. Sediaan dan posologi
Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65 mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu. Berikut sediaan piperazin :

Gambar 1. Bentuk Sediaan Piperazin
2. Pirantel Pamoat
Obat ini efektif untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine. Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati Resorpsinya dari usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala. Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali diminum.Dosis biasanya dihitung per berat badan (BB), yaitu 10 mg / kgBB. Walaupun demikian, dosis tidak boleh melebihi 1 gr. Sediaan biasanya berupa sirup (250 mg/ml) atau tablet (125 mg /tablet). Bagi orang yang mempunyai berat badan 50 kg misalnya, membutuhkan 500 mg pirantel. Jadi jangan heran jika orang tersebut diresepkan 4 tablet pirantel (125 mg) sekali minum.Nama dagang pirantel pamoat yang beredar di Indonesia bermacam-macam, ada Combantrin, Pantrin, Omegpantrin, dan lain-lain (MIMS,1998) . Untuk dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). Berikut sediaan Pirantel Pamoat :
Gambar 2. Bentuk Sediaan Pirantel Pamoat.
3. Mebendazol
Mebendazol merupakan obat cacing yang paling luas spektrumnya. Obat ini tidak larut dalam air, tidak bersifat higroskopis sehingga stabil dalam keadaan terbuka Mebendazol adalah obat cacing yang efektif terhadap cacing Toxocara canis, Toxocara cati, Toxascaris leonina. Trichuris vulpis, Uncinaria stenocephala, Ancylostoma caninum, Taenia pisiformis, Taenia hydatigena, Echinococcus granulosus dan aeniaformis hydatigena. Senyawa ini merupakan turunan benzimidazol, obat ini berefek pada hambatan pemasukan glukosa ke dalam cacing secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen dalam cacing. Mebendazol juga dapat menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing.
a. Farmakokinetika
Mebendazol tidak larut dalam iar dan rasanya enak. Pada pemberian oral absorbsinya buruk. Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah yang disebabkan oleh absorbsinya yang rendah dan mengalami first pass hepatic metabolisme yang cepat. Diekskresikan lewat urin hanya sekitar 2% dari dosis dalam bentuk yang utuh dan metabolit sebagai hasil dekarboksilasi dalam waktu 48 jam. Absorbsi mebendazol akan lebih cepat jika diberikan bersama lemak.
b. Efek Nonterapi dan Kontraindikasi
Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik mungkin karena absorbsinya yang buruk sehingga aman diberikan pada penderita dengan anemia maupun malnutrisi. Efek samping yang kadang-kadang timbul berupa diare, sakit perut ringan yang bersifat sementara, sakit kepala, pusing, reaksi alergi, alopesia, dan depresi sumsum tulang. Dari studi toksikologi obat ini memiliki batas keamanan yang lebar. Tetapi pemberian dosis tunggal sebesar 10 mg/kg BB pada tikus hamil
memperlihatkan efek embriotoksik dan teratogenik . berikut sediaan mebendazol :
Gambar 3. Bentuk Sediaan Mebendazole
d. Penggunaan Klinis
Mebendazol dapat digunakan dalam mengobati :
1 Capillariasis
Mebendazole dengan dosis 200 mg dikonsumsi dua kali sehari selama 20 hari dapat digunakan untuk mengobati capillariasis.
2 Echinococcosis
Mebendazole telah digunakan dalam pengobatan echinococcosis tetapi albendazole lebih disukai. Biasaya dosis mebendazole untuk mengobati cystic echinococcosis yaitu 40- 50 mg/kg setiap hari selama least 3- 6 bulan.
3 Toxocariasis.
Mebendazole telah digunakan dalam pengobatan toxocariasis dan efek samping yang ditimbulkan oleh mebendazole memiliki kejadian yang lebih rendah dari tiabendazole dan dengan dietilkarbamazin.
4 Strongyloidiasis
Mebendazole telah digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis tetapi perlu diberikan untuk jangka waktu yang lebih lama dari albendazole untuk mengontrol autoinfeksi, sehingga albendazole lebih disukai.
4. Tiabendazol
Tiabendazol adalah suatu benzimidazol sintetik yang berbeda, efektif terhadap strongilodiasis yang disebabkan Strongyloides stercoralis (cacing benang), larva migrans pada kulit (atau erupsi menjalar) dan tahap awal trikinosis (disebabkan Trichinella spinalis). Obat ini menganggu agregasi
mikrotubular. Meskipun hampir tidak larut dalam air, obat ini mudah diabsorbsi pada pemberian per oral. Obat dihidroksilasi dalam hati dan dikeluarkan dalam urine. Efek samping yang dijumpai ialah pusing, tidak mau makan, mual dan muntah. Terrdapat beberapa laporan tentang gejala SSP. kasus lain yang terjadi eritema multiforme dan sindrom Stevens Johnson yang dilaporkan akibat tiabendazol, yang dapat menyebabkan kematian. Berikut sediaan tiabendazol :
Gambar 4. Bentuk Sediaan Tiabendendazole.
5. Invermektin
Invermektin adalah obat pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis (buta sungai) disebabkan Onchocerca volvulus dan terbukti pula efektif untuk scabies.
a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Ivermektin bekerja pada reseptor GABA (asam ɣ-amionobutirat) parasit. Aliran klorida dipacu keluar dan terjadi hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing. Obat diberikan oral. Tidak menembus sawar darah otak dan tidak memberikan efek farmakologik. Namun, tidak boleh diberikan pada pasien meningitis karena sawar tak darah lebih permiabel dan terjadi pengaruh SSP. Ivermektin juga tidak boleh untuk orang hamil. Tidak boleh untuk pasien yang menggunakan
benzodiasepin atau barbiturate dan obat yang bekerja pada reseptor GABA. Pembunuhan mikrofilia dapat menyebabkan reaksi seperti ’’Mozatti’’ (demam, sakit kepala, pusing, somnolen, hipotensi dan sebagainya). Berikut sediaan Ivermektin :
Gambar 5. Bentuk Sediaan Ivermectin.
b. Farmakokinetik
Ivermektin diabsorpsi setelah dosis oral, dengan puncak konsentrasi plasma yang diperoleh setelah sekitar 4 jam. Ivermektin terikat dengan protein plasma sekitar 93% dan memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 12 jam. Ivermektin mengalami metabolisme dan diekskresikan sebagian besar sebagai metabolit selama sekitar 2 minggu, terutama di feses, dengan kurang dari 1% diekskresikan melalui urin dan kurang dari 2% melalui ASI.
c. Penggunaan Klinis
Ivermektin dapat digunakan dalam mengobati :
1. Loiasis
Ada penelitian yang menyatakan bahwa terjadi penurunan microfilaraemia setelah pengobatan ivermectin pada pasien dengan loiasis, tetapi ada kekhawatiran berpotensi terjadi
neurotoksisitas pada pasien.
2. Cutaneous larva migrans.
Ivermektin menjadi efektif dalam pengobatan cutaneous larva migrans dengan dosis oral 200 mikrogram / kg setiap hari selama 1 2 hari telah direkomendasikan.
3. Onchocerciasis.
Ivermektin mempunyai efek microfilaricidal terhadap Onchocerca volvulus dan obat utama yang digunakan dalam mengendalikan onchocerciasis. Sebuah dosis tunggal cepatmenghilangkan mikrofilaria dari kulit, dengan efek maksimum setelah 1 sampai 2 bulan, dan secara bertahap menghilangkan mereka dari kornea dan ruang anterior mata. Ivermektin memiliki sedikit efek pada cacing dewasa tetapi dapat menekan pelepasan mikrofilaria dari cacing dewasa. Dalam pengobatan onchocerciasis, dosis oral tunggal Ivermektin3 sampai 12 mg, berdasarkan sekitar dari 150 mikrogram / kg untuk pasien dengan berat lebih dari 15 kg dan lebih dari 5 tahun, diberikan setahun sekali atau setiap 6 bulan.
4. Strongyloidiasis
Ivermektin 200 mikrogram / kg dengan dosis tunggal, atau harian pada dua hari berturut-turut, digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis.
6. Albendazole
Albendazole adalah antelmintik oral berspektrum luas, yang merupakan obat pilihan dan telah diakui di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit hydatid dan cysticercosis. Obat ini juga merupakan obat utama untuk pengobatan infeksi Pinworm, Ascariasis, Trichuriasis, Strongyloidiasis, dan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kedua spesies cacing tambang (hookworm).
a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Albendazole dan metabolitnya, Albendazole Sulfoxide, diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis mikrotubulus dalam nematoda, dan dengan demikian mengurangi ambilan glukosa secara irreversibel. Akibatnya, parasit-parasit usus dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan. Pembersihan mereka dari saluran cerna belum dapat menyeluruh hingga beberapa hari setelah pengobatan. Obat ini juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit hydatid, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovocid (membunuh telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan trichuriasis. Albendazole tidak mempunyai efek farmakologis pada manusia. Obat ini (yang bersifat teratogenik dan embriotoksik pada beberapa spesies hewan) tidak diketahui tingkat keamanannya pada wanita hamil. Albendazol kontra indikasi terhadap ibu hamil.
b. Farmakokinetik
Absorpsi albendazol kurang baik pada saluran pencernaan namun absorpsi dapat meningkat dengan adanya makanan berlemak.Albendazol secara cepat mengalami first-pass metabolism. Metabolit albendazol sulfoksida memiliki aktivitas antelmintik dan waktu paruh sekitar 8,5 jam. Berikatan dengan protein plasma sebesar 70%. Albendazol sulfoxid dieliminasikan di empedu dan hanya sedikit yang dieksresikan melalui urin.
c. Penggunaan Klinis
Albendazole diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan parasit-parasit intraluminal. Namun untuk penanganan terhadap parasitparasit jaringan, obat ini harus diberikan bersama dengan makanan berlemak. Digunakan Untuk infeksi-infeksi pinworm, ancylostomiasis, dan ascariasis ringan, necatoriasis, atau trichuriasis, pengobatan untuk orang dewasa dan anak-anak di atas usia 2 tahun adalah dosis tunggal 400 mg secara oral. Untuk infeksi pinworm, dosis harus diulang dalam dua minggu. Tindakan ini menghasilkan tercapainya angka kesembuhan 100% dalam infeksi pinworm dan angka kesembuhan tinggi untuk infeksiinfeksi lain, atau pengurangan besar terhadap jumlah telur bagi yang tidak tersembuhkan. Untuk mencapai angka kesembuhan tinggi dalam ascariasis atau untuk mengurangi jumlah cacing secara memuaskan untuk meringankan necatoriasis atau trichuriasis berat, ulangi pemberian 400 mg/hari dalam 2-3 hari. Beikut gambar albendazol :
Albendazol dapat digunakan dalam mengobati :
1 Ascariasis
Albendazole digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan mebendazol dalam pengobatan ascariasis. Kedua obat tersebut sama-sama sangat efektif dengan tingkat kesembuhan yang lebih besar dari 98% dilaporkan dalam satu stud albendazol.
2 Capillariasis
Albendazole dengan dosis 400 mg setiap hari selama 10 hari telah disarankan sebagai alternatif menggantikan mebendazole untuk pengobatan capillariasis.
3 Loiasis
Albendazole telah diteliti untuk mengurangi mikro filariasis pada pasien terinfeksi Loa loa.
4 Mikrosporidiosis
Albendazol telah dicoba dalam pengobatan dari infeksi protozoa mikrosporidiosis pada pasien AIDS. Albendazol juga telah digunakan secara empiris dalam pengobatan terkait infeksi dan komplikasi HIV.
5 Echinococcosis
Dalam pengobatan echinococcosis, albendazole diberikan secara oral dengan makanan dalam dosis 400 mg dua kali sehari selama 28 hari untuk pasien dengan berat lebih dari 60 kg. Dosis 15 mg / kg sehari dalam dua dosis terbagi (untuk maksimal total dosis harian 800 mg) digunakan untuk pasien dengan berat kurang dari 60 kg.
Gambar 6. Bentuk Sediaan Albendazol.

7. Tribendimidine ( L-type Levamisole dan Pirantel)
Tribendimidine termasuk obat antelmintik baru yang dinamakan adalah L-type (levamisole dan Pirantel) dimana bekerja pada reseptor agonis asetilkolin nikotinik. Dalam penelitian dinyatakan bahwa tribendimidine aman dan memiliki aktivitas klinik yang baik terhadap Ascaris dan hookworm. Tribendimidine tidak dapat digunakan sebagaiantelmintik dimana pasien telah resisten terhadap levamisol atau pirantel dengan mekanisme aksi yang sama. Namun, pribendimidine dapat
produktif untuk digunakan dimana pasien resisten terhadap benzimidazole. Tribendimidine dapat dikombinasi dengan antelmintik yang lain.
Gambar 7. Bentuk Sediaan Tribendimidine.
8. Prazikuantel
Infeksi trematoda umumnya diobati dengan prazikuantel. Obat ini merupakan obat pilihan untuk pengobatan semua bentuk skistosomiasis dan infeksi cestoda seperti sistisercosis. Permeabilitas membrane sel terhadap kalsium meningkat menyebabkan parasite mengalami kontraktur dan paralisis. Prazikuantel mudah diabsorbsi pada pemberian oral dan tersebar sampai ke cairan serebrospinal. Kadar yang tinggi dapat dijumpai dalam empedu. Obat dimetabolisme secara oksidatif dengan sempurna, meyebabkan waktu paruh menjadi pendek. Metabolit tidak aktif dan dikeluarkan melalui urin dan empedu. Efek samping yang biasa termasuk mengantuk, pusing, lesu, tidak mau makan dan gangguan pencernaan. Obat ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau menyusui. Interaksi obat yangterjadi akibat peningkatan metabolisme telah dilaporkan jika diberikan bersamaan deksametason, fenitoin, dan karbamazepin, simetidin yang dikenal menghambat isozim sitokrom P-450, menyebabkan peningkatan kadar prazikuantel. Prazikuantel tidak boleh diberikan untuk mengobati sistiserkosis mata karena penghancuran organisme dalam mata dapat merusak mata.
Gambar 8. Bentuk Sediaan Prazikuantel
8. Obat Untuk Pengobatan Cestoda
Cestoda atau cacing pita, bertubuh pipih, bersegmen dan melekat pada usus pejamu. Sama dengan trematoda, cacing pita tidak mempunyai mulut dan usus selama siklusnya.
1. Niklosamid
Niklosamid adalah obat pilihan untuk infeksi cestoda (cacing pita) pada umumnya.
a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Kerjanya menghambat fosforilasi anaerob mitokondria parasite terhadap ADP yang menghasilkan energy untuk pembentukan ATP. Obat membunuh skoleks dan segmen cestoda tetapi tidak telur-telurnya. Laksan diberikan sebelum pemberian niklosamid oral. Ini berguna untuk membersihkan usus dari segmen-segmen cacing yang mati agar tidak terjadi digesti dan pelepasan telur yang dapat menjadi sistiserkosisi. Alcohol harus dilarang selama satu hari ketika niklosamid
diberikan.
b. Farmakokinetik
Niklosamida tidak signifikan diabsorpsi pada saluran pencernaan.


c. Penggunaan Klinis
Niklosamida adalah obat cacing yang aktif terhadap kebanyakan cacing pita, termasuk cacing pita daging sapi (Taenia saginata), cacing pita babi (T. solium), cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum) dan cacing pita anjing (Dipylidium caninum). Niklosamid juga dapat diberikan untuk infeksi dengan cacing pita kerdil, Hymenolepis nana. Niklosamida diberikan dalam bentuk tablet, yang harus dikunyah secara menyeluruh sebelum menelan dengan air. Untuk infeksi dengan cacing pita babi 2-g dosis tunggal diberikan setelah sarapan ringan. Niklosamida tidak aktif terhadap bentuk larva (cysticerci), pencahar diberikan sekitar 2 jam setelah dosis untuk mengeluarkan cacing yang terbunuh dan meminimalkan kemungkinan migrasi telur T. solium ke dalam perut. Antiemetik juga dapat diberikan sebelum pengobatan. Untuk infeksi cacing pita daging sapi atau ikan dosis 2-g dari niklosamida dapat dibagi, dengan 1 g diminum setelah sarapan dan 1 g satu jam kemudian.Pada infeksi cacing pita kerdil dosis awal 2 g diberikan pada hari pertama diikuti oleh 1 g setiap hari selama 6 hari. Anak-anak berusia 2 sampai 6 tahun diberikan setengah dosis di atas dan yang di bawah usia 2 tahun diberikan seperempat dosis di atas.
B Obat-Obat Herbal Anti Kecacingan
a.    Tanaman Herbal
1.      Jeruju
·         Nama Tanaman  :          
JERUJU (Acanthus ilicifolius)
·         Kandungan :
-    Saponin, Flavoinid, Polifenol, Alkaloid.
·         Cara Pembuatan :
-    Giling 3-5 butir biji daruju halus. Seduh dengan ½  cangkir air panas. Setelah
   dingin, minum sekaligus.
·         Aturan Pakai :
-    Pengobatan ini dapat dilakukan 1x sehari selama 2-4 hari  berturut-turut.

2.     Delima
·         Nama Tanaman  :          
DELIMA (Punica granatum L.)
·         Kandungan :
-    Saponin, Flavoinid, Polifenol.
·         Cara Pembuatan :
-    Akar delima dicuci bersih lalu dipotong kecil. Rebuslah dengan segelas air matang selama 15 menit. Saring kemudian minum airnya sampai habis.
·         Aturan Pakai :
-    1x sehari, selama 2-3 hari
3.     Buah Pinang
·         Nama Tanaman  :          
PINANG (Areca catechu L.)
·         Kandungan :
-    Alkaloid, Saponin, Flavoinid.
·         Cara Pembuatan :
-    Siapkan ¼ buah pinang, setengah jari rimpang kunyit, dan setengah jari rimpang temulawak. Campurkan bahan tersebut menjadi satu dalam wajan yang berisi air 400 cc, lalu rebus hingga tersisa 200 cc, kemudian saring. Minumlah air hasil saringan tersebut untuk mengatasi cacingan.
·         Aturan Pakai :
-    1x sehari, selama 2-3 hari
-     

4.     Pare
·         Nama Tanaman  :          
PARE (Momordica charantia  L.)
·         Kandungan :
-    Saponin, Flavoinid, Polifenol.
·         Cara Pembuatan :
-    Daun segar sebanyak 7 g, diseduh dengan 1/2 cangkir air panas. Setelah dingin disaring, tambahkan 1 sendok teh madu. Aduk sampai merata, minum sekaligus sebelum makan pagi.
·         Aturan Pakai :
-    1x sehari, selama 2-3 hari

5.     Sidaguri
·         Nama Tanaman  :          
SIDAGURI (Sida rombifolia  L.)
·         Kandungan :
-    Saponin, Alkaloid, Tanin..
·         Cara Pembuatan :
-    Ambil daun sidaguri sebanyak seperempat genggam, setelah dibersihkan, kemudian digiling hingga halus. Dan selanjutnya sidaguri halus itu dituangkan ke dalam air matang sebanyak tiga perempat cangkir yang telah dibubuhi garam hingga melarut, setelah itu  diperas. Hasil perasan tersebutlah yang di minum.
·         Aturan Pakai :
-    2x sehari, selama 4 hari.

b.     Sediaan Obat Tradisional
1.    SOXTAN







·   Komposisi :
-  Areca catechu 50 mg
-  Zingiber cassummunar 50 mg
-  Leucas Lavandufolia 25 mg
-  Curcuma heynenna 50 mg
-  Momordica charantina 75 mg
·      Khasiat : Mengatasi cacingan dan perut buncit akibat cacing gelang, cacing kremi, dan cacing pita.
·      Aturan Minum : 3 x 2 kapsul/hari sebelum makan.

2.      HERMUNO
·      Dosis : 2 x 1kapsul/ 7 hari Maksimal 2x2 kapsul/ hari
·      Peringatan dan Perhatian : Tidak untuk dikonsumsi anak-anak, wanita hamil dan menyusui, serta pada orang-orang yang mempunyai intoleransi individual pada bahan-bahan penyusun obat.
·      Anjuran : Dapat diminum sebelum makan atau sesudah makan dan perbanyak minum air putih.
·      Kemasan dan Sediaan : Dus. Botol @ 30, 50, 75 & 100 kapsul.

3.    XANTHOME
·        Komposisi : Madu, sari kurma, propolis, kulit manggis, temulawak, gamat emas, minyak ikan, meniran, habbatusauda, minyak zaitun, spirulina, pegagan, bunga rosela.
·        Khasiat :
-       Meningkatkan stamina dan sistem kekebalan tubuh
-       Menambah nafsu makan
-       Mengatasi cacing dan sembelit
·        Aturan Minum :
-       Usia 1 tahun- 3 tahun : 2x2 sdt/hari
-       Usia 4 tahun-12 tahun : 2x1-2 sdm/hari
-       Usia 12 tahun ke atas : 2x3-4 sdm/hari

BAB IV
 PEMBAHASAN
            Swamedikasi merupakan salah satu elemen penting dalam usaha  peningkatan kesehatan masyarakat. Definisi swamedikasi menurut  Departemen Kesehatan (Depkes) (1993) adalah upaya seseorang dalam  mengobati gejala penyakit tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu.  Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan  keterjangkauan pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam,  nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit, dan  lain-lain (Muchid dkk., 2006).             
Pembahasan kali ini difokuskan pada golongan pertama dan kedua. Obat Bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa  resep dokter, yang ditandai khusus dengan lingkaran hijau bergaris tepi  hitam pada kemasan dan etiket obatnya. Obat Bebas Terbatas adalah obat  yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli  bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan dan ditandai  lingkaran biru bergaris tepi hitam (Muchid dkk., 2006). 
Obat Over-The-Counter atau OTC adalah obat selain obat keras  yang dapat diperoleh di apotek-apotek atau toko obat tanpa resep dokter,  sehingga menurut definisi ini, yang dapat digolongkan sebagai obat OTC  adalah golongan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Obat-obat seperti ini  dapat diserahkan kepada masyarakat tanpa resep dalam rangka  meningkatkan kemampuan masyarakat tersebut dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan (Depkes, 1993).
Obat OTC pada umumnya ditujukan untuk mengatasi gejala penyakit  yang ringan, contohnya untuk menurunkan panas karena demam,  meredakan batuk, atau meredakan hidung tersumbat. Peringatan tetap ada  pada golongan obat bebas terbatas walaupun obat tersebut aman digunakan  untuk pengobatan sendiri, karena keamanan obat tersebut tergantung dari  takaran spesifik yang sudah ditentukan.
Salah satu penyakit yang dapat diswamedikasi adalah infeksi cacingan. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia diseluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih spesifik dangan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit ini masih tetap merupakan salah satu masalah antara lain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi di beberapa bagian dunia. Jumlah manusia yang dihinggapinya juga semakin bertambah akibat migrasi, lalu-lintas dan kepariwisataan udara dapat menyebabkan perluasan kemungkinan infeksi. (Tjay, 2007)
Infeksi cacing atau biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk dalam infeksi yang di sebabkan oleh parasit. Parasit adalah mahluk kecil yang menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri (baik di luar atau di dalam tubuh) dan
mengambil nutrisi dari tubuh inangnya. Pada kasus cacingan, maka cacing tersebut dapat melemahkan tubuh inangnya dan menyebabkan gangguan kesehatan. Cacingan biasanya terjadi karena kurangnya kesadaran akan kebersihan baik terhadap diri sendiri ataupun terhadap lingkungannya. Cacingan dapat menular melalui larva/telur yang tertelan & masuk ke dalam tubuh. Cacing merupakan hewan tidak bertulang yang berbentuk lonjong & panjang yang berawal dari telur/larva hingga berubah menjadi bentuk cacing dewasa. Cacing dapat menginfeksi bagian tubuh manapun yang ditinggalinya seperti pada kulit, otot, paru-paru, ataupun usus/saluran pencernaan. penyakit ini bisa menurunkan tingkat kesehatan. Di antaranya, menyebabkan anemia, IQ menurun, lemas tak bergairah, ngantuk, malas beraktivitas serta berat badan rendah.
Dalam melakukan swamedikasi, ada beberapa obat-obat yang dapat digunakan seperti golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek dan obat herbal.Oleh karena itu, makalah ini membahas mengenai swamedikasi pada cacingan.
1.        Swamedikasi dengan bebas terbatas
a.        Pirantel Pamoat obat
Obat ini efektif untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine. Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati Resorpsinya dari usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala. Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali diminum.Dosis biasanya dihitung per berat badan (BB), yaitu 10 mg / kgBB. Walaupun demikian, dosis tidak boleh melebihi 1 gr. Sediaan biasanya berupa sirup (250 mg/ml) atau tablet (125 mg /tablet). Bagi orang yang mempunyai berat badan 50 kg misalnya, membutuhkan 500 mg pirantel. Jadi jangan heran jika orang tersebut diresepkan 4 tablet pirantel (125 mg) sekali minum.Nama dagang pirantel pamoat yang beredar di Indonesia bermacam-macam, ada Combantrin, Pantrin, Omegpantrin, dan lain-lain (MIMS,1998) . Untuk dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg).
2.      Swamedikasi dengan tanaman herbal
a.      Pare
·         Nama Tanaman         :           PARE (Momordica charantia  L.)
Kandungan : Saponin, Flavoinid, Polifenol.
Cara Pembuatan :
-    Daun segar sebanyak 7 g, diseduh dengan 1/2 cangkir air panas. Setelah dingin disaring, tambahkan 1 sendok teh madu. Aduk sampai merata, minum sekaligus sebelum makan pagi.
·         Aturan Pakai :
-       1x sehari, selama 2-3 hari

b.      Sidaguri
·         Nama Tanaman           :SIDAGURI (Sida rombifolia  L.)
·        Kandungan : Saponin, Alkaloid, Tanin..
§  Cara Pembuatan :
Ambil daun sidaguri sebanyak seperempat genggam, setelah dibersihkan, kemudian digiling hingga halus. Dan selanjutnya sidaguri halus itu dituangkan ke dalam air matang sebanyak tiga perempat cangkir yang telah dibubuhi garam hingga melarut, setelah itu  diperas. Hasil perasan tersebutlah yang di minum.
·         Aturan Pakai : 2x sehari, selama 4 hari.

c.    Sediaan Obat Tradisional
1.  SOXTAN
·   Komposisi :
-  Areca catechu 50 mg
-  Zingiber cassummunar 50 mg
-  Leucas Lavandufolia 25 mg
-  Curcuma heynenna 50 mg
-  Momordica charantina 75 mg
·      Khasiat : Mengatasi cacingan dan perut buncit akibat cacing gelang, cacing kremi, dan cacing pita.
·      Aturan Minum : 3 x 2 kapsul/hari sebelum makan.

2.        HERMUNO
·      Dosis : 2 x 1kapsul/ 7 hari Maksimal 2x2 kapsul/ hari
·      Peringatan dan Perhatian : Tidak untuk dikonsumsi anak-anak, wanita hamil dan menyusui, serta pada orang-orang yang mempunyai intoleransi individual pada bahan-bahan penyusun obat.
·      Anjuran : Dapat diminum sebelum makan atau sesudah makan dan perbanyak minum air putih.
·      Kemasan dan Sediaan : Dus. Botol @ 30, 50, 75 & 100 kapsul.

3.        XANTHOME
·        Komposisi : Madu, sari kurma, propolis, kulit manggis, temulawak, gamat emas, minyak ikan, meniran, habbatusauda, minyak zaitun, spirulina, pegagan, bunga rosela.
·        Khasiat :
-       Meningkatkan stamina dan sistem kekebalan tubuh
-       Menambah nafsu makan
-       Mengatasi cacing dan sembelit
·        Aturan Minum :
-       Usia 1 tahun- 3 tahun : 2x2 sdt/hari
-       Usia 4 tahun-12 tahun : 2x1-2 sdm/hari
-       Usia 12 tahun ke atas : 2x3-4 sdm/hari



BAB V
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Adapun simpulan dari makalah ini Antara lain :
A>  Infeksi cacing atau biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk dalam infeksi yang di sebabkan oleh parasit. Parasit adalah mahluk kecil yang menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri (baik di luar atau di dalam tubuh) dan mengambil nutrisi daritubuh inangnya.
B>  Jenis-jenis cacing yang dapat menginfeksi adalah :
- Cacing Gelang: (Ascaris lumbricoides)
- Cacing Cambuk: (Tricuris trichiura)
- Cacing Tambang: (Necator Americanus Dan Ancylostoma Duodenale)
- Cacing Kremi: (Enterobius vermicularis)
b.      Gejala umum jika terinfeksi cacing adalah timbulnya rasa mual, lemas, hilangnya nafsu makan, rasa sakit di bagian perut, diare, dan turunnya berat badan karena penyerapan nutrisi yang tidak mencukupi dari makanan. Pada infeksi yang lebih lanjut apabila cacing sudah berpindah tempat dari usus ke organlain, sehingga menimbulkan kerusakan organ & jaringan, dapat timbul gejala demam, adanya benjolan di organ/jaringan tersebut, dapat timbul reaksi alergi terhadap larva cacing, infeksi bakteri, kejang atau gejala gangguan syaraf apabila organ otak sudah terkena.
c.       Obat-obat penyakit cacing yang digunakan dalam berswamedikasi
1. obat bebas terbatas, contohnya pirantel pamoat
2. tanaman herbal contohnya tanaman pare dan biduri
3. produk herbal contohnya hermuno, hexontan dan madu xanthome   


DAFTAR PUSTAKA
Kasim F, Yulia T, Kosasih. ISO Indonesia volume 44. Jakarta : Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia ; 2009.
Kasim, Fauzi, dkk.2009. ISO Indonesia volume 44. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Jakarta
Rosidiana Safar, 2010, Parasitologi Kedokteran : Protozoologi, Helmintologi, Entomologi, Cetakan I, Yrama Widya, Bandung
World Health Organization (WHO). Angka Kematian Bayi. Amerika: WHO; 2012.
Depkes RI, 2006. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/Menkes/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan.
Gandahusada S. 2000. Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta. EGC
Permenkes 2006. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Penanggulangan. Jakarta. Depkes RI
Permenkes 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Penanggulangan. Jakarta : Depkes RI
Maria Holly. 2000. Media Litbang Kesehatan. Vol 10. Artikel.