Kamis, 04 Oktober 2018

Peran Apoteker rumah sakit dalam pengambilan keputusan terapeutik kolaboratif.


Peran Apoteker rumah sakit dalam pengambilan keputusan terapeutik kolaboratif.
Alwi Jaya. S. Farm, NIM: N014172758, Kelas: Apoteker B, Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar
Pendahuluan
Menurut Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations, kesalahan medis menempati peringkat kelima dalam sepuluh penyebab kematian paling banyak di Amerika Serikat. Kesalahan pengobatan kerap terjadi di rumah sakit. Laporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa kesalahan pengobatan berada pada urutan pertama (24,8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan.1 Akibat kesalahan pengobatan di ruang perawatan intensif berpotensi fatal bagi pasien apabila dibandingan ruang rawat inap lainnya. Hal ini disebabkan  oleh tingkat keparahan penyakit,  banyak komplikasi dan polifarmasi. Kesalahan pengobatan ini dapat terjadi pada 4 tahapan proses pelayanan obat. Kesalahan peresepan dan kesalahan pemberian obat  merupakan penyebab utama kejadian merugikan pasien karena obat (Marlina, 2016: 2)
Akar dari permasalahan tersebut adalah buruknya kolaborasi antar tenaga kesehatan yang menyebabkan keterlambatan pengobatan serta kesalahan fatal pada operasi. Di Indonesia, pada 98,69% pembuatan resep terdapat kesalahan yang meliputi kesalahan dalam penulisan resep oleh dokter, apoteker yang tidak tepat dalam proses penyiapan obat, dan kesalahan pada saat pemberian informasi mengenai obat tersebut. National Prescribing Service Australia menemukan bahwa 6% kasus di rumah sakit disebabkan karena efek samping obat dan tingkat kesalahan yang tinggi selama pemindahan perawatan. Sumber dari masalah tersebut adalah kolaborasi yang buruk antara dokter dan apoteker. Masalah ini menjadi contoh kolaborasi yang buruk antar tenaga kesehatan. Kolaborasi yang buruk adalah faktor yang paling penting dalam kesalahan medikasi dan pengobatan.Pada praktik kolaborasi antar tenaga kesehatan sering terjadi masalah seperti ketidakseimbangan wewenang, peran yang tumpang tindih, serta struktur organisasi. Masalah tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan implementasi dari komponen praktik kolaborasi yang baik (Hakiman, Assica Permata Amalya dkk. 2019: 2)
            Pelayanan yang berpusat pada pasien dan kerjasama antar tenaga kesehatan, praktek interprofesional kolaboratif merupakan ranah yang sedang berkembang dalam rumah sakit dan setting pelayanan kesehatan (Institute of Medicine, 2013). Praktek kolaborasi antara tenaga kesehatan menjadi salah satu primadona dalam peningkatan derajat kesehatan pasien. Kolaborasi yang dilakukan oleh perawat-dokter-farmasi serta tenaga kesehatan lain yang dikenal dengan interprofessional collaboration practice (IPC). Pendekatan ini guna mencapai derajat tertinggi kesehatan pasien dan pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan itu sendiri (WHO, 2012;)
 Salah satu tenaga ahli kesehatan yaiitu Apoteker yang juga bertanggung jawab dalam meningkatkan kesehatan masyarakat (pasien) yang dalam hal ini terkait dengan pemastian mutu, keamanan dan efektifitas penggunaan obat. Untuk itu perlunya perlunya peran dari seorang farmasis dalam pengambilan keputusan terapetik untuk menghindari kesalahan dalam pengobatan.
Pentinya peran apoteker dalam pengambilan keputusan terapeutik
            Praktek kolaborasi antara tenaga kesehatan menjadi salah satu primadona dalam peningkatan derajat kesehatan pasien. Kolaborasi yang dilakukan oleh perawat-dokter-farmasi serta tenaga kesehatan lain yang dikenal dengan interprofessional collaboration practice (IPC). Pendekatan ini guna mencapai derajat tertinggi kesehatan pasien dan pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan itu sendiri (Eriyono.2017:2)
Salah satu tenaga profesi kesehatan adalah apoteker. Tugas seorang apoteker atau farmasis adalah melaksanakan pekerjaan kefaramasian. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PP 51 tahun 2009). Hal tersebut, mengindetifikasikan bahwa seorang apoteker harus mampu menjamin bahwa obat yang akan digunakan oleh pasien  bermutu, aman dan efektif untuk digunakan sehingga penggunaan obat yang salah atau medication eror bisa diminimalisir dengan adanya apoteker.
Dalam farmasi klinik seorang farmasis atau apoteker mempunyai tugas yang sangat penting. Pelayanan farmasi klinik yang bisa di lakukan oleh apoteker di rumah sakit meliputi: a. pengkajian dan pelayanan Resep; b. penelusuran riwayat penggunaan Obat; c. rekonsiliasi Obat; d. Pelayanan Informasi Obat (PIO); e. konseling; f. visite; g. Pemantauan Terapi Obat (PTO); h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); j. dispensing sediaan steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) (Permenkes No. 72 : 2016)
            Salah satu permasalahan yang terjadi di rumah sakit yaitu tingginya tingkat medication eror. Medication eror adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat di cegah. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kesalahan dalam peresepan merupakan hal yang paling mudah dicegah. Pencegahan kesalahan peresepan akan menghindarkan terjadi kesalahan pada tahapan pengobatan selanjutnya. Salah satu strategi  dalam pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pendampingan apoteker dalam ruang perawatan, termasuk pendampingan apoteker saat visite dokter (Marlina, 2016: 5)
            Penelitian oleh Marlina Dkk pada tahun 2016 menyimpulkan terdapat korelasi negatif kuat dan bermakna antara frekuensi pemberian rekomendasi pada pendampingan apoteker terhadap  frekuensi kesalahanan peresepan (r= –0,638; p=0,000). Semakin banyak frekuensi rekomendasi yang diberikan apoteker maka akan semakin berkurang frekuensi kesalahan peresepan. Farmasi klinik merupakan hal yang baru di ruang perawatan intensif, sehingga apoteker yang melakukan pendampingan dapat mulai membangun komunikasi dengan dokter. Rasa segan dan takut salah masih tampak dalam proses pendampingan sehingga apoteker belum dapat memberikan rekomendasi kepada dokter dengan maksimal. Hal ini terjadi karena belum adanya kolaborasi antar profesi dokter dan apoteker. Terciptanya kolaborasi memerlukan waktu dan komunikasi efektif sehingga dokter-apoteker merasa saling membutuhkan dalam pengelolaan pengobatan pasien. Pada penelitian ini dokter  menerima  seluruh rekomendasi yang diberikan apoteker (100%). Hampir sama dengan penelitian lain yang  menunjukkan tingkat penerimaan dokter sangat baik 99%. Tingkat penerimaan dokter menunjukkan sikap dokter terhadap kerjasama dalam pendampingan ini (Marlina, 2016: 5)
Walaupun dalam pendampingan apoteker menunjukkan pengaruh yang bermakna terhadap kesalahan peresepan, akan tetapi terdapat faktor-faktor lain (59,3%) yang juga memberikan pengaruh terhadap kesalahan peresepan yaitu: lingkungan kerja, kerja sama tim,  faktor petugas, faktor tugas dan faktor pasien seperti yang dilaporkan pada penelitian Dean et al. dan Ryan et al. Akan tetapi yang terpenting  bahwa pendampingan apoteker terbukti efektif sebagai salah satu strategi pencegahan kesalahan peresepan, sehingga dapat dilakukan untuk ruang rawat inap lainnya (Marlina, 2016: 5)
Keterbatasan penelitian ini adalah ketaatan dokter terhadap kesepakatan terbatas karena belum ada formularium di rumah sakit. Selanjutnya apoteker yang melakukan pendampingan belum pernah mendapatkan pelatihan tentang farmasi klinik, sehingga apoteker belum merasa percaya diri dalam memberikan rekomendasi secara maksimal kepada dokter. Kegiatan pendampingan apoteker perlu ditingkatkan sebagai awalan implementasi farmasi klinik dan proses kolaborasi antara dokter dan apoteker. Hal ini membutuhkan dukungan sistem manajemen rumah sakit agar komunikasi interpersonal diantara profesi lebih mudah terwujud (Marlina, 2016: 5)
Oleh karenanya penerapan Interprofesinal Education (IPE) dalam perguruan tinggi dalam lingkup Ilmu Kesehatan sangat diharapkan di terapkan secara maksimal guna menciptakan tenaga ahli kesehatan yang profesinal dan bisa mengtasi permasalahn kesehatan yang terjadi dengan melaksanakan kerja sama dengan menjunjung tinggi tanggung jawab profesional masing-masing.
Selain itu, seorang apoteker harus mempersiapkan diri untuk bisa terjun dan bisa meningkatkan profesinalitas keahlinya dengan meningkatkan ilmu kefarmasian dan ilmu yang mendukung dari profesinya tersebut, sesuai dengan salah satu peran apoteker dalam  Nine star of pharmacist yaitu life long learner ( belajar sepanjang waktu). Dengan begitu, apoteker akan mampu menjadi salah satu tenaga kesehatan yang dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan (decision Maker) terapeutik ungtuk pasien.
Daftar Pustaka
Budi Wijoyo, Eriyono dan Suki Hananto. 2017. Pengembangan Pasien Virtual untuk Peningkatan Pendekatan Inter-Professional Education (IPE) dalam Dunia Pendidikan Keperawatan di Indonesia . Jurnal Kperawatan Muhammadiyah
Hakiman, Assica Permata Amalya dkk. 2019. Persepsi Mahasiswa Profesi Kesehatan Universitas Padjadjaran terhadap Interprofessionalism Education. Bandung: Univ Padjajaran.
Turnodihardjo1,Marlina A ,dkk. 2016. Pengaruh Pendampingan Apoteker Saat Visite Dokter terhadap Kesalahan Peresepan di Ruang Perawatan Intensif. Malang : Univ. Brawijaya
MENKES RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. MENKES RI
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta : MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar