Peran Apoteker rumah sakit dalam pengambilan
keputusan terapeutik kolaboratif.
Alwi Jaya. S. Farm, NIM:
N014172758, Kelas: Apoteker B, Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi,
Universitas Hasanuddin, Makassar
Pendahuluan
Menurut
Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations, kesalahan medis
menempati peringkat kelima dalam sepuluh penyebab kematian paling banyak di
Amerika Serikat. Kesalahan pengobatan kerap terjadi di rumah sakit. Laporan
Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa kesalahan
pengobatan berada pada urutan pertama (24,8%) dari 10 besar insiden yang
dilaporkan.1 Akibat kesalahan pengobatan di ruang perawatan intensif berpotensi
fatal bagi pasien apabila dibandingan ruang rawat inap lainnya. Hal ini
disebabkan oleh tingkat keparahan
penyakit, banyak komplikasi dan
polifarmasi. Kesalahan pengobatan ini dapat terjadi pada 4 tahapan proses pelayanan
obat. Kesalahan peresepan dan kesalahan pemberian obat merupakan penyebab utama kejadian merugikan
pasien karena obat (Marlina, 2016: 2)
Akar
dari permasalahan tersebut adalah buruknya kolaborasi antar tenaga kesehatan
yang menyebabkan keterlambatan pengobatan serta kesalahan fatal pada operasi. Di
Indonesia, pada 98,69% pembuatan resep terdapat kesalahan yang meliputi
kesalahan dalam penulisan resep oleh dokter, apoteker yang tidak tepat dalam
proses penyiapan obat, dan kesalahan pada saat pemberian informasi mengenai
obat tersebut. National Prescribing Service Australia menemukan bahwa 6% kasus
di rumah sakit disebabkan karena efek samping obat dan tingkat kesalahan yang
tinggi selama pemindahan perawatan. Sumber dari masalah tersebut adalah
kolaborasi yang buruk antara dokter dan apoteker. Masalah ini menjadi contoh
kolaborasi yang buruk antar tenaga kesehatan. Kolaborasi yang buruk adalah
faktor yang paling penting dalam kesalahan medikasi dan pengobatan.Pada praktik
kolaborasi antar tenaga kesehatan sering terjadi masalah seperti
ketidakseimbangan wewenang, peran yang tumpang tindih, serta struktur
organisasi. Masalah tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan implementasi
dari komponen praktik kolaborasi yang baik (Hakiman, Assica Permata Amalya dkk.
2019: 2)
Pelayanan yang berpusat pada pasien
dan kerjasama antar tenaga kesehatan, praktek interprofesional kolaboratif
merupakan ranah yang sedang berkembang dalam rumah sakit dan setting pelayanan
kesehatan (Institute of Medicine, 2013). Praktek kolaborasi antara tenaga
kesehatan menjadi salah satu primadona dalam peningkatan derajat kesehatan
pasien. Kolaborasi yang dilakukan oleh perawat-dokter-farmasi serta tenaga
kesehatan lain yang dikenal dengan interprofessional collaboration practice
(IPC). Pendekatan ini guna mencapai derajat tertinggi kesehatan pasien dan
pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan itu sendiri (WHO, 2012;)
Salah satu tenaga ahli kesehatan yaiitu
Apoteker yang juga bertanggung jawab dalam meningkatkan kesehatan masyarakat
(pasien) yang dalam hal ini terkait dengan pemastian mutu, keamanan dan efektifitas
penggunaan obat. Untuk itu perlunya perlunya peran dari seorang farmasis dalam
pengambilan keputusan terapetik untuk menghindari kesalahan dalam pengobatan.
Pentinya peran apoteker
dalam pengambilan keputusan terapeutik
Praktek kolaborasi antara tenaga
kesehatan menjadi salah satu primadona dalam peningkatan derajat kesehatan
pasien. Kolaborasi yang dilakukan oleh perawat-dokter-farmasi serta tenaga
kesehatan lain yang dikenal dengan interprofessional collaboration practice
(IPC). Pendekatan ini guna mencapai derajat tertinggi kesehatan pasien dan
pasien sebagai pusat dari pelayanan kesehatan itu sendiri (Eriyono.2017:2)
Salah
satu tenaga profesi kesehatan adalah apoteker. Tugas seorang apoteker atau
farmasis adalah melaksanakan pekerjaan kefaramasian. Pekerjaan Kefarmasian
adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional (PP 51 tahun 2009). Hal tersebut,
mengindetifikasikan bahwa seorang apoteker harus mampu menjamin bahwa obat yang
akan digunakan oleh pasien bermutu, aman
dan efektif untuk digunakan sehingga penggunaan obat yang salah atau medication
eror bisa diminimalisir dengan adanya apoteker.
Dalam
farmasi klinik seorang farmasis atau apoteker mempunyai tugas yang sangat
penting. Pelayanan farmasi klinik yang bisa di lakukan oleh apoteker di rumah
sakit meliputi: a. pengkajian dan pelayanan Resep; b. penelusuran riwayat
penggunaan Obat; c. rekonsiliasi Obat; d. Pelayanan Informasi Obat (PIO); e.
konseling; f. visite; g. Pemantauan Terapi Obat (PTO); h. Monitoring Efek
Samping Obat (MESO); i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); j. dispensing sediaan
steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) (Permenkes No. 72 :
2016)
Salah satu permasalahan yang terjadi
di rumah sakit yaitu tingginya tingkat medication eror. Medication eror adalah
kejadian yang tidak diinginkan yang dapat di cegah. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa kesalahan dalam peresepan merupakan hal yang paling mudah
dicegah. Pencegahan kesalahan peresepan akan menghindarkan terjadi kesalahan
pada tahapan pengobatan selanjutnya. Salah satu strategi dalam pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan pendampingan apoteker dalam ruang perawatan, termasuk pendampingan
apoteker saat visite dokter (Marlina, 2016: 5)
Penelitian oleh Marlina Dkk pada
tahun 2016 menyimpulkan terdapat korelasi negatif kuat dan bermakna antara
frekuensi pemberian rekomendasi pada pendampingan apoteker terhadap frekuensi kesalahanan peresepan (r= –0,638;
p=0,000). Semakin banyak frekuensi rekomendasi yang diberikan apoteker maka
akan semakin berkurang frekuensi kesalahan peresepan. Farmasi klinik merupakan
hal yang baru di ruang perawatan intensif, sehingga apoteker yang melakukan
pendampingan dapat mulai membangun komunikasi dengan dokter. Rasa segan dan
takut salah masih tampak dalam proses pendampingan sehingga apoteker belum dapat
memberikan rekomendasi kepada dokter dengan maksimal. Hal ini terjadi karena
belum adanya kolaborasi antar profesi dokter dan apoteker. Terciptanya
kolaborasi memerlukan waktu dan komunikasi efektif sehingga dokter-apoteker
merasa saling membutuhkan dalam pengelolaan pengobatan pasien. Pada penelitian
ini dokter menerima seluruh rekomendasi yang diberikan apoteker
(100%). Hampir sama dengan penelitian lain yang
menunjukkan tingkat penerimaan dokter sangat baik 99%. Tingkat
penerimaan dokter menunjukkan sikap dokter terhadap kerjasama dalam
pendampingan ini (Marlina, 2016: 5)
Walaupun
dalam pendampingan apoteker menunjukkan pengaruh yang bermakna terhadap
kesalahan peresepan, akan tetapi terdapat faktor-faktor lain (59,3%) yang juga
memberikan pengaruh terhadap kesalahan peresepan yaitu: lingkungan kerja, kerja
sama tim, faktor petugas, faktor tugas
dan faktor pasien seperti yang dilaporkan pada penelitian Dean et al. dan Ryan
et al. Akan tetapi yang terpenting bahwa
pendampingan apoteker terbukti efektif sebagai salah satu strategi pencegahan
kesalahan peresepan, sehingga dapat dilakukan untuk ruang rawat inap lainnya
(Marlina, 2016: 5)
Keterbatasan
penelitian ini adalah ketaatan dokter terhadap kesepakatan terbatas karena
belum ada formularium di rumah sakit. Selanjutnya apoteker yang melakukan
pendampingan belum pernah mendapatkan pelatihan tentang farmasi klinik,
sehingga apoteker belum merasa percaya diri dalam memberikan rekomendasi secara
maksimal kepada dokter. Kegiatan pendampingan apoteker perlu ditingkatkan
sebagai awalan implementasi farmasi klinik dan proses kolaborasi antara dokter
dan apoteker. Hal ini membutuhkan dukungan sistem manajemen rumah sakit agar
komunikasi interpersonal diantara profesi lebih mudah terwujud (Marlina, 2016:
5)
Oleh
karenanya penerapan Interprofesinal Education (IPE) dalam perguruan tinggi
dalam lingkup Ilmu Kesehatan sangat diharapkan di terapkan secara maksimal guna
menciptakan tenaga ahli kesehatan yang profesinal dan bisa mengtasi permasalahn
kesehatan yang terjadi dengan melaksanakan kerja sama dengan menjunjung tinggi
tanggung jawab profesional masing-masing.
Selain
itu, seorang apoteker harus mempersiapkan diri untuk bisa terjun dan bisa
meningkatkan profesinalitas keahlinya dengan meningkatkan ilmu kefarmasian dan
ilmu yang mendukung dari profesinya tersebut, sesuai dengan salah satu peran
apoteker dalam Nine star of pharmacist
yaitu life long learner ( belajar sepanjang waktu). Dengan begitu, apoteker
akan mampu menjadi salah satu tenaga kesehatan yang dapat dilibatkan dalam
pengambilan keputusan (decision Maker) terapeutik ungtuk pasien.
Daftar
Pustaka
Budi Wijoyo, Eriyono
dan Suki Hananto. 2017. Pengembangan
Pasien Virtual untuk Peningkatan Pendekatan Inter-Professional Education (IPE)
dalam Dunia Pendidikan Keperawatan di Indonesia . Jurnal Kperawatan
Muhammadiyah
Hakiman, Assica Permata
Amalya dkk. 2019. Persepsi Mahasiswa
Profesi Kesehatan Universitas Padjadjaran terhadap Interprofessionalism
Education. Bandung: Univ Padjajaran.
Turnodihardjo1,Marlina
A ,dkk. 2016. Pengaruh Pendampingan
Apoteker Saat Visite Dokter terhadap Kesalahan Peresepan di Ruang Perawatan
Intensif. Malang : Univ. Brawijaya
MENKES RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit. MENKES RI
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,2009. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Jakarta : MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar